Ketika kekerasan menjadi suatu kewajaran
Masih minimnya kesadaran kita untuk mendidik anak tanpa kekerasan membuat kita beranggapan bahwa itu adalah hal yang biasa. Seperti ketika guru yang menghukum anak menggunakan penggaris untuk memukul telapak tangannya, mencubit dada anak lelaki atau lengan anak perempuan hingga berbekas (biru), menjewer telinga hingga berbunyi, menendang kaki hingga terjatuh ... beberapa dari kita menganggap bahwa hal tersebut wajar ... sampai akhirnya kita dengar seorang siswa meninggal akibat kekerasan yang dilakukan oleh sang guru. Tidak menutup kemungkinan awalnya guru tersebut hanya mencubit, memukul pakai penggaris, hingga kebablasan, memanjakan nafsu setannya untuk menghajar anak muridnya tersebut sampai sang anak kehilangan nyawa, seperti yang terjadi di Ternate pada tahun 2015.
Banyak sekali dukungan yang diberikan kepada guru yang melakukan kekerasan fisik pada anak muridnya dengan dalih bahwa mereka sudah biasa diperlakukan seperti itu dengan guru mereka dan mereka menerimanya, bahkan mengatakan bahwa jaman dahulu mental mereka lebih kuat (tidak seperti anak sekarang yang mental tempe), tidak dendam, dan sebagainya.
Saya pun pernah diperlakukan seperti itu oleh seorang guru saya, hanya karena nilai elektronik saya jelek, sang guru akan menarik telinga saya ke atas hingga berbunyi ... ketika nilai ekonomi saya buruk, sang guru akan mencubit lengan saya sebanyak jumlah kesalahan saya menjawab soal. Sebenarnya apa tujuan guru-guru itu? Jika saya tidak tertarik pada mata pelajaran elektronik atau ekonomi, apa saya tetap harus mendapatkan nilai bagus untuk kedua mata pelajaran itu? Kemudian akan jadi apakah saya? Jadi teknisi atau pakar ekonomi? Meskipun saya tidak berminat? Lucu sekali. Dan beberapa dari kita (sekarang) menganggapnya sebagai hal yang wajar.
Okelah ketika seorang remaja kedapatan merokok di lingkungan sekolah, guru pasti akan sangat gemas melihat anak bau kencur sudah sok menghisap dan menyemburkan asap rokok ... tetapi ketika sang guru menampar, apakah murid tersebut langsung berubah? Bukannya akan lebih mudah melakukan pendekatan emosional dengan sang murid tersebut untuk mencapai tujuan membimbing sang murid dengan lebih baik?
Saya punya anak, masih balita. Seringkali saya merasa tidak sabar dan berteriak padanya ketika ia sedang menghambur majalah menggunakan kakinya (efek lelah dan jenuh dengan rutinitas rumahan yang itu-itu saja). "AISYAHHH!!! PACK UP!!! PACK UP!!!"
Kakak Aisyah. |
Sedikit berbeda ketika saya, dengan mood baik, meminta padanya, "Aisyah, tolong dirapikan sayang, pack up please.", meskipun tidak sepenuhnya rapi, meski hanya satu-dua majalah, tetapi ia lakukan sesuai perintah yaitu menyusunnya kembali ke tempat semula.
Bukan hanya oleh guru, baru-baru ini beredar video seorang polisi yang menendang operator warnet karena mengijinkan seorang siswa berseragam SMA main di warnet pada jam sekolah. Mengapa harus demikian? Berhak kah seorang pengayom masyarakat melakukan hal seperti itu kepada seorang anak muda yang bekerja sebagai buruh? Kalau berhak, apa alasannya? Apa karena sang operator bermulut kasar alias melawan kepada sang polisi? Jika demikian, sang polisi tinggal balas memaki saja. Kalau karena si operator nekad mengintip film amoral/immoral di monitor komputer ketika ada polisi, tinggal minta ia mematikannya saja, apa seorang polisi bisa merasa tidak dihargai oleh seorang pemuda biasa? Aduh malang sekali.
Kejadian yang pernah saya saksikan sendiri, seorang polisi menampar seorang anak tukang parkir karena mengijinkan mobil parkir pada rambu terlarang. Apa sudah ditanyakan alasannya kepada anak tersebut? Jika sudah ditanyakan dan ternyata anak tersebut menjawab dengan gugup, apa yakin jika ia memang bersalah? Ia gugup mungkin saja bukan karena salah, tetapi karena kalian begitu menyeramkan. Tahu kan para pengguna kendaraan roda 4 ini? Mereka lebih bisa ngotot dan melawan kepada seorang anak ingusan yang hanya menjaga parkir. Bagaimana bisa tanpa menanyakan ke semua pihak langsung main hajar? Betapa ringannya kaki dan tangan kalian untuk menyakiti orang lain.
Hati saya miris sekali menyaksikan hal-hal seperti ini di depan mata. Sehari yang lalu, minggu 7 Agustus 2016, di sebuah pusat perdagangan, dua orang anak tertangkap oleh satpam karena mencuri sepasang sendal, saya menduga seperti itu karena kebetulan yang saya lihat anak tersebut membawa sepasang sendal kulit berwarna coklat muda, dan sepertinya bukan sendal ukuran untuk anak-anak berusia sekitar 10 tahun. Mereka dipermalukan tepat di ujung bawah tangga eskalator, di tengah keramaian orang-orang yang melihat mereka, ... tanpa meminta mereka ke suatu tempat untuk menanyakan alasannya, dan mencari tahu lebih jauh apakah ada seseorang yang meminta mereka melakukan hal tersebut ... satpam itu mengambil sendal di tangan anak tersebut dan langsung menampar keras pipi mereka masing-masing sebelum anak-anak itu pergi. Bisa dibayangkan sangat membekas di wajah bahkan di hati mereka. Saya menangis mengisahkan ini kembali, karena kejadian itu juga sangat membekas di hati saya. Entah anak-anak itu bisa menjadi lebih baik atau malah lebih buruk setelah mendapat perlakuan itu. Saya tak dapat membayangkannya.
Apakah belum cukup semua pakar parenting dan psikologis anak memberikan penyuluhan ke setiap sudut kota di Indonesia ini melalui kegiatan seminar? Bahkan sering ada di layar kaca. Adakah dari para pakar itu yang menyetujui kekerasan terhadap anak? Seorang ayah dan ibu pun yang terbiasa melakukan kekerasan kepada anaknya bisa kelepasan hingga sang anak kehilangan nyawa. Orang tua pun akan ditangkap jika melakukan KDRT terhadap anak. Bagaimana jika petugas yang berwenang untuk menangkap pelaku KDRT dan pendidik yang seharusnya mengerti dengan kondisi kejiwaan anak didiknya juga melakukan kekerasan?
Tujuan kita mendidik seorang anak dan seluruh lapisan masyarakat apa? Bukannya ingin menjadikan mereka lebih baik lagi, tidak sekedar memperlihatkan betapa jagoannya kita ketika mendidik ... tendang, tampar, cubit, tonjok!
Mengapa kita tidak sepakat saja,
SAY NO MENDIDIK DENGAN KEKERASAN!
SAY NO MEMBIMBING DENGAN KEKERASAN!
SAY NO PENYULUHAN DENGAN KEKERASAN!
SAY YES MENGARAHKAN DENGAN SENYUMAN!
SAY YES MENGARAHKAN DENGAN HATI!
SAY YES MENGARAHKAN DENGAN KASIH SAYANG!
TEGAS BUKAN BERARTI KASAR!
Kasar mulut saja tidak, apalagi kasar hati.
Tegas dan galak adalah 2 hal yang jauh berbeda, apalagi tegas dan kekerasan fisik.
Kasus yang terjadi belakangan ini mengenai beberapa guru yang dilaporkan oleh siswa bandel kepada pihak berwajib karena melakukan kekerasan fisik (meskipun 'hanya' sekedar cubitan), bukan juga menjadi alasan yang tepat untuk mengijinkan seseorang melakukan kekerasan fisik. Karena tidak ada alasan yang dibenarkan untuk membuat orang lain cedera, apalagi anak-anak yang masa depannya masih panjang dan berada di tangan kita, para orang tua BERAKAL.
Satu kata ... satu hati ... dan pasti satu tujuan ...
Agar anak-anak menjadi lebih baik lagi, bukan malah menyakiti hati mereka dan membuat mereka menjadi lebih buruk lagi.
0 comments