Penghapusan Ujian Nasional dan Alasan Kemantapan Memilih
Sandiaga Uno dan Keluarga. Sumber: http://m.harnas.co/2016/03/05/hidup-sandiaga-uno-lebih-simpel |
Sebagai 'emak-emak', terpesona terhadap ketampanan Bang Sandiaga Uno adalah hal yang wajar, yang tidak wajar adalah keinginan untuk memiliki, karena cinta tak harus memiliki.
Sedap!
Kan cintanya Bang Sandi untuk seluruh rakyat Indonesia setelah keluarganya, karena keluarga nomor 1 dan memilih capres-cawapres barulah nomor 2.
Sebagai 'emak-emak', mengagumi kecerdasan Bang Sandiaga Uno adalah hal yang wajar, apalagi jika ia memikirkan kesejahteraan pendidikan anak-anak kita, yang tidak wajar adalah jika kita tidak memilihnya untuk alasan tersebut alias menjadikannya bahan untuk 'goreng menggoreng'.
Penghapusan Ujian Nasional di mata saya sebagai 'emak-emak' adalah hal yang bahkan paling diinginkan untuk ditiadakan.
Apa alasannya?
Mengapa kecerdasan dan kemampuan anak kita diukur hanya berdasarkan angka dan segelintir mata pelajaran? Mengapa menghakimi seorang anak sebagai anak yang bodoh hanya karena ia tidak mampu mendapat peringkat yang baik dalam ujian kenaikan kelas dan Ujian Nasional?
Sementara mereka mewakili sekolah dan berprestasi dalam hal olahraga bola basket, renang, sepatu roda, menari, menyanyi, dan sebagainya.
Siapa yang menanyakan alasan saya, tentu akan saya balas dengan pertanyaan seperti di atas.
Konsep pendidikan yang dijabarkan oleh Bang Sandiaga Uno pada saat debat cawapres tadi malam adalah pendidikan berkarakter dimana sebagian sekolah sudah menjalankannya dan menjadi pilihan utama bagi sebagian 'emak-emak' yang paham dengan benar bahwa kemampuan anak tidak bisa diukur dengan angka.
Kalau tidak percaya, marilah kita bertanya pada pakarnya, yaitu Ayah Edy, seorang pendiri Sekolah Berkarakter dan motivator sukses mengenai Homeschooling. Apa beliau akan tak setuju juga dengan konsep kurikulum yang hendak diusung oleh Bang Sandiaga Uno?
Sayangnya Sekolah Berkarakter atau biasa kita kenal dengan Multi Intelligence School, baik berlatar pendidikan Agama Islam ataupun Kristen, termasuk sekolah-sekolah mahal, dimana para orang tua dengan kemampuan ekonomi yang cukup tinggi yang mampu menyekolahkan anak di sekolah swasta terutama yang konsepnya mengasah bibit unggul masing-masing muridnya.
Beberapa Sekolah Berkarakter di Kota Balikpapan, tempat saya tinggal, khususnya karakter Islami, kebetulan yang sempat saya survey, untuk uang pangkal orangtua harus mengeluarkan biaya sekitar 15 juta hingga 20 juta Rupiah, dengan uang bulanan sekitar 1,5 juta hingga 2 juta Rupiah.
Alangkah bagusnya (menurut 'emak-emak' seperti saya), jika sistem kurikulum pendidikan di Indonesia dirancang secara merata dimana mengutamakan pendidikan berkarakter, mengembangkan bibit unggul masing-masing anak, memetakan minat dan bakat anak, daripada memaksa mereka terperangkap dan menjadi kecil di tengah teman-temannya yang unggul dalam hal pelajaran fisika atau kimia (misalnya), sedangkan mereka sama sekali tidak berminat untuk menjadi ahli kimia atau fisika.
Apa atlet Asian Games yang nilai sekolahnya dahulu kebanyakan 'merah' akan dikatakan bodoh setelah mereka berhasil meraih medali?
Tapi, seandainya dirinya bisa melihat ke belakang, sewaktu masih duduk di bangku sekolah, apa ia dapat mengetahui kelak akan jadi seperti apa, sementara nilai sekolahnya berada di bawah rata-rata?
Beberapa anak mungkin saja pasrah, merasa bodoh, apalagi berada di tengah lingkungan yang sistem pemikirannya masih 'kuno', masih menjadikan 'angka' sebagai tolak ukur kecerdasan seorang anak. Hanya sebagian anak yang 'keras kepala' saja yang bisa tetap bertahan dan terus maju manggapai mimpinya sendiri di tengah pandangan negatif orang-orang di sekitarnya, tetapi setiap anak itu berbeda.
Penjabaran visi mengenai sistem pendidikan anak di Indonesia oleh Bang Sandiaga Uno membuat saya sebagai 'emak-emak rempong' tambah terpesona. Penuh khayalan dalam otak saya dimana seluruh sekolah negeri juga mengambil konsep Sekolah Berkarakter sehingga semua lapisan masyarakat bisa merasakan manfaatnya, meniadakan sistem Full Day School, lalu semua murid pasti lulus (karena tak ada anak yang bodoh), dan sebagainya, sehingga lahir dan bertambahlah bibit-bibit unggul bangsa yang bisa membawa nama besar Indonesia di dunia Internasional.
Sistem Full Day School yang saya maksud berbeda dengan Boarding School, Pesantren, dan sebagainya, melainkan anak tetap tidur di rumah orangtuanya namun seharian berada di sekolah, dari pagi hingga sore hari. Karena kalau Boarding School atau Pesantren, itu merupakan pilihan, bukan paksaan.
Tak ada istilah cinta buta bagi 'emak-emak', visi dan misi pasangan capres - cawapres Prabowo - Sandi sungguh membuat tergugah, sehingga mantaplah saya untuk memilihnya.
Seperti yang sudah menjadi rahasia umum juga kalau 'emak-emak' itu ahli sejarah, akan selalu mengingat janji-janji manis dan tidak akan mudah melupakan mereka yang ingkar janji.
Jangankan 2 periode, kalau sudah dikhianati, setengah periode pun tak akan diberi kesempatan lagi bagi seorang 'emak'.
Rujuk?
Gila saja, sudah berkhianat masih minta rujuk!
Saya memilih Prabowo - Sandi untuk memimpin Indonesia tahun 2019 - 2024, tapi tak segan menceraikannya jika mereka pun berkhianat.
Jadi, jangan cinta buta, 17 April 2019 coblos nomor 2.
0 comments