Insto Dry Eyes Solusi Mata Keringku!
Sumber Foto: Koleksi Pribadi. |
Dia memaksa untuk mencabut gugatan ceraiku di pengadilan, lalu mengaku di hadapan Yang Mulia Hakim bahwa masih sangat mencintaiku dan menyayangi anak-anak kami, namun sesungguhnya ia mendesakku untuk kembali menjalani hari-hari gelap bersamanya. Jiwaku meronta, hatiku menolak. Tidak! Sudah cukup bagiku sejak 6 tahun yang lalu ia mengikat hidupku dalam kesengsaraan. Sudah waktunya mengakhiri suatu rumah tanpa atap, panas dan hujan silih berganti menerpa, tempat yang sangat menyedihkan bagi kami semua!
Aku baru saja menyelesaikan tulisan (bab) lanjutan Cerita Bersambung yang rutin aku publish setiap akhir pekan pada salah satu platform untuk para penulis menerbitkan novel online ketika jam pada layar Handphone-ku sudah menunjukkan pukul 12 malam.
Sebagai seorang Ibu Rumah Tangga sekaligus penulis yang memiliki dua orang anak balita, aku harus pandai mengatur waktuku agar tak ada yang terbuang percuma, misalnya saat malam hari ketika kedua anakku sudah terlelap seperti kali ini, aku mengambil waktu yang singkat untuk bergulat dengan daya khayal yang kemudian dapat dikembangkan menjadi sebuah tulisan panjang. Meskipun pada pertengahan selalu ada interupsi dari si bayi yang butuh menyusu pada ibundanya.
Sejak kelahiran anak keduaku itu pada satu tahun silam, aku hampir tak sempat menghidupkan laptop, membuatku pada akhirnya harus menginstal beberapa aplikasi di HP Androidku agar tetap dapat menunjang kesukaanku akan dunia tulis menulis. Biasanya aku menulis terlebih dahulu di Notepad, kemudian tinggal aku copy paste pada platform yang dituju dan langsung diterbitkan agar bisa segera dinikmati oleh para pembaca.
Hoahm! Tak jarang rasa kantuk merajai diri, namun aku tak kuasa menolak dorongan dari dalam diri untuk tenggelam dan menyelam ke dalam angan yang terbersit dimana seorang penulis sepertiku berlakon sebagai sang tokoh utama. Karena lewat sehari saja sejak saat imaji itu hadir dalam benak seorang penulis, maka ia akan menjadi tokoh yang berbeda bersamaan dengan mimpi yang baru atau yang terakhir ia pikirkan, sedangkan hasrat yang lalu terlupakan begitu saja, sungguh sayang!
Harta terbesar bagi seorang penulis fiksi adalah sebuah khayalan, dimana jika tak segera dituangkan dalam sebuah tulisan, maka akan menguap begitu saja tanpa adanya realisasi. Karena esok harinya, ide baru sudah bermunculan lagi.
Hanya saja mata lelah seringkali tak bekerja sama dengan kondisi yang ada, membuat intensitasku menggosok mata semakin sering, karena ibarat dari mata naik ke kepala yang ikut menjadi sakit. Jika sudah sakit kepala, solusinya hanya tidur dan mengabaikan semua hasrat untuk menulis yang ada. Sesuai pengalaman, begitu terus kejadiannya jika mulainya mata pegel, mata sepet, dan mata perih, yang mana merupakan gejala dari mata kering itu kualami seperti kali ini. Apalagi aku memang pengguna kacamata dengan minus sudah di atas 4, sehingga mata mudah menjadi nyeri saat over penggunaan.
Bisa dimaklumi karena sudah setahun belakangan ini pola kerjaku tidak sehat bagi mata, yaitu sambil berbaring pada sisi luar tempat tidur guna berjaga-jaga agar si bayi tidak sampai terjatuh ke lantai, kala malam semakin larut di tengah lampu temaram dalam kamar, sementara mata tak luput dari layar ponsel.
Tadi siang aku bertemu dengan papaku, dan keluhan ini kusampaikan padanya.
"Lately it's too painful." Kataku pada beliau sambil melepaskan kacamata dan menggosok-gosok mataku yang terasa pedih.
"Stop!" Beliau menghardikku seperti biasa jika melihat sesuatu hal yang kulakukan tidak berkenan di matanya.
"That will only make it worse!" Katanya lagi.
Mulutku manyun, papaku itu memang selalu menganggapku masih seperti anak kecil, padahal aku sudah menjadi ibu dari dua orang anak yang mana merupakan cucu-cucunya.
"Sepertinya minusku nambah deh, Pa." Kataku lagi untuk mengalihkan perhatiannya, serta mengalihkan perhatian anak-anakku dari kakeknya yang barusan berbicara dengan intonasi suara yang lebih tinggi dari biasanya.
Aku melirik pada punggung sosok berusia 20 tahun lebih dari setengah abad itu yang tengah membuka laci barang-barang berharganya, entah apa yang beliau cari. Yang jelas, itu adalah laci yang sama sekali tak boleh kami sentuh karena beliau tidak suka jika barang-barangnya berpindah tempat.
Ternyata beliau memberikanku Insto, produk kepercayaan keluarga kami sejak dulu untuk mengatasi mata yang iritasi karena kelilipan debu.
"Kalau nyeri, ini bisa membantu." Katanya kemudian.
Aku menggeleng. "Bukan karena kotoran masuk ke mata. Insto sih ada di rumah."
"This is for dry eyes!" Beliau melotot, matanya yang sipit terlihat sedikit lebih besar. Kebetulan kami keluarga keturunan sehingga berwajah oriental.
Aku tak banyak bicara ketika itu, hanya menyimpan Insto pemberian papa ke dalam tasku dan buru-buru membawa anak-anakku pulang ke rumah sebelum mendengarkan ceramah lanjutan darinya yang selalu diulang-ulang mengenai kebiasaanku membaca komik sambil tidur sejak kelas 4 SD sehingga mengakibatkan kini diriku berkacamata dengan ketebalan laksana sebuah botol kaca.
Dia si penyimpan cerita masa lalu, menghantar rasa rindu yang melekat, melalui wajah yang selalu berbayang di sanubari, hadir saat cinta ini nyaris tak bersisa.
Mata kembali terasa sepet dan perih saat aku berusaha mulai menulis kalimat pembuka bab baru pada layar ponsel yang berukuran mini itu, membuatku teringat pada Insto pemberian papa siang tadi yang masih bersembunyi di dalam tasku.
Sejenak kuhentikan dahulu aktivitasku untuk mengambil Insto pemberian papa dan mencari perbedaannya dengan yang sudah aku miliki. Ternyata memang berbeda, Insto milikku berlabel Regular dan tertulis untuk mata yang mengalami iritasi, sementara milik papa adalah diperuntukkan bagi si pemilik mata kering karena penggunaan kontak lens yang terlalu lama atau seseorang yang bekerja terlalu lama menatap cahaya dari layar gadget.
Insto Dry Eyes mengandung bahan aktif yang dapat mengatasi kekeringan pada mata dan dapat digunakan sebagai pelumas pada mata. Ia laksana air mata buatan yang memiliki bahan aktif yang dapat membunuh bakteri. Tersedia dalam ukuran 7,5 ml sehingga memudahkannya untuk dibawa kemanapun kita pergi.
Aku segera membuka tutup botol mini Insto Dry Eyes tersebut dan meneteskannya 2 kali pada masing-masing mata agar terhindar dari kekeringan dan tidak terasa nyeri lagi.
Manjur! Ia merupakan solusi bagi mata keringku.
Kamu bukanlah cinta yang salah, hanya saja hadir di saat yang tidak tepat. Ragaku ada di sini, jiwaku terbang bersamamu. Dia memiliki tubuhku, namun hatiku sudah mengikuti kemana arah dirimu tanpa perlu kuucapkan.
Paragraf terakhir usai kutulis, siap untuk diterbitkan dan dinikmati oleh para pembaca setiaku.
Berkat Insto Dry Eyes, aku bisa dengan lantang mengucapkan "Selamat Tinggal Mata Kering!" sebelum memulai patahan-patahan kalimat baru yang tersurat untuk mengungkapkan khayalanku.
Bye Mata Kering!
2 comments
Ceritanya sangat menarik untuk di baca. Awal paragraf nya sangat nendang dan bikin penasaran untuk membaca kelanjutannya
BalasHapusTerima kasih. ^_^
Hapus