Hempaskan Sikap Rasisme Dengan Anggun - Pohon Kokoh Yang Pandai
Remaja Putri Wakatobi menjalankan upacara Turun Tanah (Kansaoda'a). Sumber Foto: Pesona Travel |
Tak ada seorang pun yang mampu menumbangkan pohon yang kokoh. - Annisa Tang -
Ada kata pepatah yang menyatakan bahwa semakin tinggi pohon, semakin kuat juga angin berusaha untuk menumbangkannya, namun semakin tinggi dirimu berada maka tak seorang pun dapat merendahkanmu.
Bukan perkara mudah untukku memberanikan diri membuat sebuah tulisan ini karena menyangkut beberapa golongan, bukan hanya satu atau dua orang, tetapi aku pikir perlu untuk tetap ditulis sebagai pencerahan saja.
Semoga maksud baikku tidak disalah-artikan, mohon maaf sebelumnya jika ternyata ada beberapa pihak yang merasa tersinggung atas tulisanku kali ini.
Pada tahun 2015, penyanyi dangdut Cita-citata dianggap telah melakukan hal yang rasis dengan mengatakan "Cantik kan? Nggak seperti Orang Papua.", saat itu kebetulan ia menggunakan pakaian ala 'Wanita Papua'.
Sesungguhnya wajar jika banyak yang merasa tersinggung mendengar kalimat seperti itu diucapkan kepada Ranah Public, mengingat Cita Citata adalah seorang Public Figure yang dapat menjadi Role Mode bagi para penggemarnya. Tetapi sebenarnya sah juga jika kita sekedar menganggap bahwa dia hanyalah salah satu orang yang bodoh dan tidak tahu dengan apa yang ia katakan.
Menurutku sudah cukuplah dengan melakukan mediasi antara Cita Citata dengan salah satu Tokoh Masyarakat Papua saja, kemudian meminta dia meralat ucapannya melalui Video Recording untuk dipublikasi, tanpa perlu memperpanjang masalah hingga ke ranah hukum dan terus-terusan menjadi pembahasan di media massa yang dapat menyebabkan hukuman sosial terus berlanjut karena menganggapnya sebagai seorang yang rasis.
Padahal seorang Cita Citata kan tak lebih hebat dari seorang Papua yang berpendidikan tinggi, seorang Papua yang beretika baik, seorang Papua yang sukses (menjadi pengusaha atau pejabat, misalnya), seorang wanita Papua yang dianggap cantik dan pandai sehingga dapat mewakili Provinsinya untuk mengikuti ajang pemilihan putri bergengsi tingkat nasional, bahkan tak lebih hebat dari seorang wanita Papua yang berhasil menjalankan biduk rumah tangga yang harmonis.
Bukan perkara mudah untukku memberanikan diri membuat sebuah tulisan ini karena menyangkut beberapa golongan, bukan hanya satu atau dua orang, tetapi aku pikir perlu untuk tetap ditulis sebagai pencerahan saja.
Semoga maksud baikku tidak disalah-artikan, mohon maaf sebelumnya jika ternyata ada beberapa pihak yang merasa tersinggung atas tulisanku kali ini.
Pada tahun 2015, penyanyi dangdut Cita-citata dianggap telah melakukan hal yang rasis dengan mengatakan "Cantik kan? Nggak seperti Orang Papua.", saat itu kebetulan ia menggunakan pakaian ala 'Wanita Papua'.
Leidi Herlin Rumbiak. Ratu Kecantikan Wakil Papua Barat 2017. Sumber Foto: Tagar.id |
Menurutku sudah cukuplah dengan melakukan mediasi antara Cita Citata dengan salah satu Tokoh Masyarakat Papua saja, kemudian meminta dia meralat ucapannya melalui Video Recording untuk dipublikasi, tanpa perlu memperpanjang masalah hingga ke ranah hukum dan terus-terusan menjadi pembahasan di media massa yang dapat menyebabkan hukuman sosial terus berlanjut karena menganggapnya sebagai seorang yang rasis.
Padahal seorang Cita Citata kan tak lebih hebat dari seorang Papua yang berpendidikan tinggi, seorang Papua yang beretika baik, seorang Papua yang sukses (menjadi pengusaha atau pejabat, misalnya), seorang wanita Papua yang dianggap cantik dan pandai sehingga dapat mewakili Provinsinya untuk mengikuti ajang pemilihan putri bergengsi tingkat nasional, bahkan tak lebih hebat dari seorang wanita Papua yang berhasil menjalankan biduk rumah tangga yang harmonis.
Tapi kalau yang terakhir itu, aku senasib dengan Cita Citata, hehehee ... Single Fighter.
Kita tak bisa mengatur sikap orang lain terhadap kita, namun kita bisa mengendalikan diri kita sesuai apa yang kita inginkan. - Annisa Tang -
Seandainya kita bisa merubah mindset kita, menumbuhkan rasa Percaya Diri kita, pasti tak ada satupun orang yang dapat menjatuhkan harga diri kita.
Bukan hanya teruntuk bagi Masyarakat Papua, peristiwa Cita Citata tersebut hanya seolah me-refresh ingatanku karena baru-baru ini di Kalimantan Timur juga terjadi sikap rasis yang dilakukan oleh seorang oknum wanita, dimana dia menuliskan kalimat "Pakai Filter, padahal aslinya kayak Butun" pada story Sosial Medianya.
Sebagai keturunan Suku Buton, banyak keluarga dan kerabat yang tersinggung akan pernyataannya tersebut, bahkan konon kabar yang beredar bahwa rumahnya juga sempat didatangi oleh Warga keturunan Buton secara beramai-ramai, dimana Hukuman Sosial sebelumnya juga telah ia terima melalui caci maki para netizen.
Memang sejak jaman dahulu, di Kalimantan Timur, khususnya yang aku ketahui di Kota Balikpapan dan Samarinda, Suku Buton seringkali menjadi olok-olokan oleh suku lain yang belum mengerti akan bahaya dan dampak rasisme dalam kehidupan.
Bahkan Suku Buton dikenal sebagai 'Butun', dan sejak jaman aku kecil, seolah sudah lumrah beberapa suku lain menjadikan Suku Buton sebagai bahan olokan, yaitu dengan menyebutkan berulangkali 'Butun Butun Butun' yang ditujukan kepada seseorang bersuku itu.
Di Balikpapan pun ada Pasar yang dinamakan Pasar Butun karena mayoritas pedagangnya adalah Suku Buton. Kebetulan sebagian Suku Buton di Kota Balikpapan berprofesi sebagai buruh kasar, di samping banyak yang berprofesi sebagai pedagang pasar, seperti buruh di Pelabuhan atau di Bandara, petugas kebersihan jalan, serta pembantu rumah tangga.
Tetapi ketika beberapa orang yang memperkerjakan orang Suku Buton kita tanyakan mengapa mereka lebih sering memperkerjakan Orang Buton, jawabannya hampir selalu sama, yaitu karena Orang Buton terkenal sebagai orang yang jujur dan rajin.
Itu nilai plus loh. Ada beberapa suku juga yang dipandang oleh suku lain secara general sebagai orang yang tidak jujur, ada juga yang dinilai sebagai sarang preman, bahkan ada juga yang dinilai bahwa para wanitanya suka menggoda.
Jadi sebenarnya rasis bukan hanya terjadi dan dirasakan oleh sebagian suku saja. Banyak terjadi di sekitar kita. Bahkan pada orang kulit putih sekalipun, dimana waktu aku kecil pernah mendengar teman main yang sepantaranku berkata, "Biasanya orang putih itu bau, jarang mandi."
Duh, anak kecil tahu begituan darimana coba kalau bukan dari orang tuanya? Heheheee ... Kebetulan aku berkulit putih.
Kadang image yang melekat sebagai generalisasi pada suatu suku bangsa tampak sangat penting bagi kita yang mengalaminya, tetapi mengapa hanya dalam hal fisik yang negatif yang kita pedulikan?
Suku Buton terkenal oleh sebagian orang sebagai suku yang berkulit hitam legam, dianggap berwajah kurang menarik atau malah tidak menarik sama sekali (mungkin), sehingga jika ada orang yang berkata bahwa seseorang itu pasti suku Buton karena sudah terlihat dari wajahnya, berarti bukanlah hal yang baik.
Padahal menurutku sih baik atau tidaknya seseorang bukan dinilai dari fisiknya. Biar saja mereka menganggap golongan kita tidak cantik, toh mereka tak lebih rupawan fisiknya daripada kita dan terutama tidak lebih berprestasi tentunya.
Bukan hanya teruntuk bagi Masyarakat Papua, peristiwa Cita Citata tersebut hanya seolah me-refresh ingatanku karena baru-baru ini di Kalimantan Timur juga terjadi sikap rasis yang dilakukan oleh seorang oknum wanita, dimana dia menuliskan kalimat "Pakai Filter, padahal aslinya kayak Butun" pada story Sosial Medianya.
Sebagai keturunan Suku Buton, banyak keluarga dan kerabat yang tersinggung akan pernyataannya tersebut, bahkan konon kabar yang beredar bahwa rumahnya juga sempat didatangi oleh Warga keturunan Buton secara beramai-ramai, dimana Hukuman Sosial sebelumnya juga telah ia terima melalui caci maki para netizen.
Memang sejak jaman dahulu, di Kalimantan Timur, khususnya yang aku ketahui di Kota Balikpapan dan Samarinda, Suku Buton seringkali menjadi olok-olokan oleh suku lain yang belum mengerti akan bahaya dan dampak rasisme dalam kehidupan.
Bahkan Suku Buton dikenal sebagai 'Butun', dan sejak jaman aku kecil, seolah sudah lumrah beberapa suku lain menjadikan Suku Buton sebagai bahan olokan, yaitu dengan menyebutkan berulangkali 'Butun Butun Butun' yang ditujukan kepada seseorang bersuku itu.
Di Balikpapan pun ada Pasar yang dinamakan Pasar Butun karena mayoritas pedagangnya adalah Suku Buton. Kebetulan sebagian Suku Buton di Kota Balikpapan berprofesi sebagai buruh kasar, di samping banyak yang berprofesi sebagai pedagang pasar, seperti buruh di Pelabuhan atau di Bandara, petugas kebersihan jalan, serta pembantu rumah tangga.
Tetapi ketika beberapa orang yang memperkerjakan orang Suku Buton kita tanyakan mengapa mereka lebih sering memperkerjakan Orang Buton, jawabannya hampir selalu sama, yaitu karena Orang Buton terkenal sebagai orang yang jujur dan rajin.
Itu nilai plus loh. Ada beberapa suku juga yang dipandang oleh suku lain secara general sebagai orang yang tidak jujur, ada juga yang dinilai sebagai sarang preman, bahkan ada juga yang dinilai bahwa para wanitanya suka menggoda.
Jadi sebenarnya rasis bukan hanya terjadi dan dirasakan oleh sebagian suku saja. Banyak terjadi di sekitar kita. Bahkan pada orang kulit putih sekalipun, dimana waktu aku kecil pernah mendengar teman main yang sepantaranku berkata, "Biasanya orang putih itu bau, jarang mandi."
Duh, anak kecil tahu begituan darimana coba kalau bukan dari orang tuanya? Heheheee ... Kebetulan aku berkulit putih.
Kadang image yang melekat sebagai generalisasi pada suatu suku bangsa tampak sangat penting bagi kita yang mengalaminya, tetapi mengapa hanya dalam hal fisik yang negatif yang kita pedulikan?
Suku Buton terkenal oleh sebagian orang sebagai suku yang berkulit hitam legam, dianggap berwajah kurang menarik atau malah tidak menarik sama sekali (mungkin), sehingga jika ada orang yang berkata bahwa seseorang itu pasti suku Buton karena sudah terlihat dari wajahnya, berarti bukanlah hal yang baik.
Padahal menurutku sih baik atau tidaknya seseorang bukan dinilai dari fisiknya. Biar saja mereka menganggap golongan kita tidak cantik, toh mereka tak lebih rupawan fisiknya daripada kita dan terutama tidak lebih berprestasi tentunya.
Tidak seharusnya juga kita menunjukkan ketidak-percayaan diri kepada public. Yang perlu kita tunjukkan adalah keunggulan kita dan mengatakan kepada setiap orang mengenai etnis kita sesungguhnya dengan cara yang anggun.
Tak semestinya kita yang berpendidikan tinggi berlawanan dengan orang yang 'tidak sekolah' dan kurang pendidikan sampai-sampai mereka tidak mengerti dampak dari perbuatannya yang dapat dinilai sebagai sikap rasisme.
Aku sendiri keturunan Buton Wakatobi dari pihak Mami, sedangkan Papaku Tionghoa.
Tak semestinya kita yang berpendidikan tinggi berlawanan dengan orang yang 'tidak sekolah' dan kurang pendidikan sampai-sampai mereka tidak mengerti dampak dari perbuatannya yang dapat dinilai sebagai sikap rasisme.
Aku sendiri keturunan Buton Wakatobi dari pihak Mami, sedangkan Papaku Tionghoa.
Setiap kali ada yang mengetahui kalau papaku adalah Orang China, maka saat itu juga mereka akan berkomentar, "Oh pantas putih."
Padahal Mamiku berwajah cantik dan berkulit putih, suku asli Buton, tanpa sentuhan darah suku lain sama sekali. Sudah gurih kok Mamiku ini meski tanpa micin. Tak baik juga kalau kebanyakan micin, nanti jadi bodoh katanya anak jaman now, hehehe.
Padahal Mamiku berwajah cantik dan berkulit putih, suku asli Buton, tanpa sentuhan darah suku lain sama sekali. Sudah gurih kok Mamiku ini meski tanpa micin. Tak baik juga kalau kebanyakan micin, nanti jadi bodoh katanya anak jaman now, hehehe.
My Mom ketika beliau masih belia, Wa Ode. Foto adalah Koleksi Pribadi. |
Jika tak ada warga dengan etnis seperti Papua, atau etnis Buton, dan etnis lainnya, maka tiada keberagaman. Begitupun dengan bahasa daerah yang kita gunakan, seaneh apapun didengar oleh telinga suku yang lain.
Ada ras kulit putih, ada ras kulit hitam, dan ada ras kulit merah, kalau di Dunia Internasional.
Wa Ode Kartika, artis. Sumber: Naviri Magazine. |
Sungguh sama sekali tak menjadi masalah bagiku jika aku menjadi bagian dari suku yang dilihat oleh sebagian suku lain sebagai suku yang mayoritas bentuk fisiknya sama sekali tidak menarik. Meski bukan berarti juga setiap orang bebas bersikap rasis.
Tapi memang menurut pendapatku pribadi, kadang seseorang tidak sungguh-sungguh berniat untuk bersikap rasisme, hanya saja ia terlalu bodoh untuk menyadari bahwa tindakannya dapat membuat banyak orang menjadi tersinggung dan marah.
Kalau opiniku sih, rasisme itu selain mengolok-olok, juga dibarengi dengan sikap 'anti' atau membatasi diri untuk bergaul dengan orang tersebut, bahkan meminta keluarganya untuk tidak berhubungan dengan orang dari golongan tertentu. Ya seperti yang terjadi pada bangsa kulit hitam pada jaman dahulu di AS dimana orang kulit putih membatasi diri untuk bergaul dengan mereka.
Sedangkan kadang kita sejak jaman dahulu kala, antar teman saja, jangankan mengolok-olok hal yang lain, nama Bapak sendiri saja menjadi bahan olokan, padahal kan jatuhnya tidak sopan pada orang tua kita. Heheheee.
0 comments