Layangan Putus Berharap Dijemput - Kisah Mommy ASF dan Opini Mommy AFE
Angin membawa layangan yang putus itu, limbung kian kemari, entah kemana angin kan membawanya, tak ada yang bisa menebak juga dimana ia akan mendarat. - Annisa Tang -
Sumber Foto: Koleksi Pribadi. |
Aku bukanlah 'Mommi Asf', hanya seorang penikmat tulisan viralnya, kemudian menuliskan opini dari sisiku sendiri. Sebut saja aku sebagai 'Mommy AFE' saja karena inisial nama kedua anakku adalah AFE.
Setiap orang punya caranya sendiri untuk mengatasi putusnya sebuah layangan. Kalau aku, tentu memilih untuk membiarkan layangan itu putus tanpa mengejarnya. Karena saat ia putus, tentu limbung dan menabrak benda-benda di sekitarnya sebelum akhirnya mendarat pada suatu tempat.
Hanya tempat sampah yang cocok sebagai persinggahan terakhirnya, karena mau dibawa pulang pun sudah usang dan tiada berguna.
Tidak ingin menghakimi siapapun, kisah yang tertulis dengan judul 'Based on True Story' pun sesungguhnya merupakan rahasia penulisnya sendiri mengenai kisah siapa yang ia angkat, apakah kisah hidupnya sendiri ataupun kisah orang lain yang ia ceritakan kembali.
Bahkan tak ada yang bisa menebak berapa persentase kebenaran dari kisah itu, apakah 90% yang mana 10%-nya merupakan penyamaran identitas para tokohnya saja, ataukah justru kebalikannya dimana hanya inti ceritanya saja yang kurang lebih sama dengan kisah nyatanya itu sendiri, alur dan selebihnya adalah fiktif belaka.
Misalnya saja tenggelamnya Kapal Titanic, dimana fenomena Kapal Titanic yang tenggelam saat pelayaran perdananya merupakan kisah yang benar terjadi, namun drama percintaan dan alur ceritanya adalah karangan dari sang penulis (fiksi).
Tidak penting semua itu, yang jelas kisah yang ditulis oleh Mommi Asf adalah cerita yang sering terjadi di sekitar kita.
Seorang lelaki yang tidak setia, berjumpa dengan wanita penggoda, dengan dalih ingin melaksanakan sunnah Rosul yaitu Poligami, dan kemudian istri pertama dikondisikan sebagai seorang pendosa yang menyebabkan suaminya berpaling pada wanita lain, atau calon penghuni neraka karena menentang suami menikah lagi sehingga sang suami terlibat perzinahan dengan wanita lain.
Saat cerita ke keluarga atau kerabatnya yang lain, tentunya istri yang akan dikambing-hitamkan.
"Dia nggak pernah masak di rumah."
"Dia nggak pernah hormat sama mertuanya."
"Dia cemburuan."
"Dia suka marah tidak jelas."
Dan sebagainya ...
Tapi lucunya, istrinya yang tidak becus, tapi si istri yang gugat cerai! Sudah gitu tidak mau dia ceraikan pula! Padahal katanya si istri yang tidak becus.
Ya kalau kerabatnya masih waras pasti bisa berpikir dengan jernih. Istrinya yang tidak becus kenapa bukan dia yang gugat cerai sejak lama? Tapi setelah ada kasus perselingkuhannya baru menggunakan alasan bahwa istri tidak becus.
Lagipula istri tidak pernah masak, suaminya ada di rumah nggak? Kalau suami tidak pernah pulang ke rumah mau masak buat siapa?
Beli nasi bungkus jauh lebih hemat buat makan berdua anak balita saja. Hanya contoh.
Tulisan Mommi Asf cukup membuat emak-emak kesal ya? Khususnya saya, sebagai Single Fighter (sebut saja begitu, karena agak geli saya mau melabeli diri sebagai salah satu kata yang sengaja saya bold dari judul FTV di samping ini: "Saya janda beranak dua karena janda beranak dua.").
Menurut saya sebagian lelaki terlalu banyak mencari pembenaran atas kesalahan yang ia perbuat.
Dia yang tidak mampu menahan radarnya untuk menemukan wifi yang lain, tapi beralasan kalau signal wifi sebelumnya susah tersambung. Istilahnya seperti itu.
Memanjakan birahinya sendiri dengan berlindung di balik kesalahan orang lain atau ... berdalih mengikuti Sunnah Rosul Poligami', padahal dalam hal lainnya terlihat sangat menentang syariat Islam, eh giliran Poligami malah menggebu-gebu memperlihatkan dukungannya.
Khusus Poligami saja yang didukung, dan wanita yang tidak bersedia dipoligami bakal menjadi Calon Penghuni Neraka, katanya.
Sementara wanita yang katanya Calon Penghuni Neraka karena tidak setuju dipoligami tersebut, ternyata orang yang sangat mengikuti syariat Islam, hanya saja belum bisa ikhlas jika diminta untuk berbagi suami. Konon katanya istri Rosul saja bisa cemburu, apalagi kami ini yang hanya istri orang biasa yang ilmu agamanya tidak setingkat dengan Rasulullah.
Ya, sebagai manusia, kita semua punya hak yang sama di mata Allah, baik lelaki maupun wanita. Lelaki diijinkan beristri sampai dengan 4 asal sesuai syariat (bisa adil dan sebagainya), tetapi tidak diijinkan juga memaksa wanita yang tidak rela dimadu agar bersedia berbagi suami, oleh karena itu Allah mengijinkan perceraian bagi umat muslim.
Pernikahan sudah tidak sakinah, mawadah, dan warohmah, boleh berpisah/bercerai.
Jadi tidak ada masalah kalau sebagian besar wanita menentang poligami. Tidak semua wanita rela dimadu. Kalau suami bahagia bersama wanita lain, istri pun berhak mencari kebahagiaannya sendiri dengan meminta diceraikan.
Lagipula tidak menyetujui poligami, bukan berarti melanggar ketentuan agama. Tidak menyetujui kan bukan berarti tidak mengakui kalau poligami itu diperbolehkan dalam Islam.
Ya sama halnya lah, jika misalnya Poliandri yang diijinkan, pasti kebanyakan pria yang 'koar-koar' tidak setuju.
Ada berita suami bunuh istri karena menduga istrinya selingkuh saja, kebanyakan netizen pria yang komentar untuk menyetujui sikap si pembunuh. Hehehehe ...
Saya rasa, wanita manapun tidak akan bersedia diperlakukan dengan tidak layak di sebuah tempat bernama 'rumah'.
Tidak dihargai, tidak diperhatikan, tidak diajak berkomunikasi dua arah, jangankan memperhatikan, quality time bersama keluarga saja tidak pernah, tidur saja tidak satu atap dengan keluarganya, sudah begitu orang tuanya juga tidak memaksa anaknya untuk berkumpul bersama keluarganya, malah mengetahui dan menyetujui anaknya menjalin hubungan dengan wanita lain, bahkan ikut menyembunyikan kebenaran dari menantunya.
Duh miris sekali ya? Baru begitu bercerai, dia menyebar berita kalau istrinya tidak hormat kepada orang tuanya, padahal sebagai manusia biasa, istri punya perasaan, bisa marah, bisa kesal, dan juga jenuh, tentunya bukan hanya si pelaku yang terkena imbasnya, melainkan keluarganya juga.
Sikap istri yang berubah kepada suami dan keluarga suami biasanya berawal dari sikap suami yang tidak baik terhadapnya dan cenderung menyia-nyiakan sepanjang biduk rumah tangga.
Itu juga yang menyebabkan kebanyakan wanita rela pergi menggugat sendiri ke pengadilan daripada digantung dalam pernikahan yang tidak mampu menyehatkan batinnya.
Alasan lelaki tidak mau menceraikan istrinya kebanyakan beralasan pada anak. Katanya kasihan anak jika hidup dalam keluarga yang Broken Home.
Padahal Broken Home sendiri bukan sekedar putusnya tali pernikahan antar kedua orang tuanya melainkan bisa terjadi di dalam rumah tangga yang tidak sehat.
Quality time bersama anak-anak dan ibunya di rumah saja tidak pernah kok, bawa anak ke tempat bermain atau paling minim ke lapangan yang tidak memerlukan mengeluarkan sejumlah uang buat menghabiskan waktu bermain bersama anak dengan bawa bola sendiri dari rumah saja tidak pernah, ... tapi giliran istri gugat cerai kok tidak mau dengan alasan 'kasihan anak'.
Memang tidak kasihan sama anak-anak kalau mereka hidup dalam sebuah keluarga yang tidak sehat? Setiap hari melihat ibunya menangisi ayahnya yang tidak pernah ada di rumah, menangis memikirkan ayahnya bersama siapa di luar sana?
Anak akan jauh lebih bahagia bersama orang tua tunggal yang bahagia daripada bersama keluarga utuh yang kacau balau.
Hanya mengambil contoh dari fenomena yang sering terjadi di sekitar kita sebagai penyebab perceraian dan dampak yang mungkin dialami setelahnya yaitu menyalahkan mantan istri atas kesalahan yang ia perbuat.
Seorang ayah yang baik juga tidak akan memaksa anak-anak pisah dari ibu kandungnya karena hanya seorang ibu kandung yang memiliki ikatan emosional dengan anak-anaknya, ikatan batin yang sangat kuat daripada orang lain yang tidak ada pertalian darah dengannya.
Ibu kandung bukan hanya mengalirkan darahnya ke dalam tubuh sang anak, tetapi juga melahirkan anak-anaknya dengan taruhan nyawa. Anak lahir bersamaan dengan mengalirnya darah juga keluar dari tubuhnya.
Bagi seorang ibu, tak menjadi masalah jika dia yang harus menafkahi anak-anaknya seorang diri, yang terpenting tidak terpisahkan dengan anak-anaknya. Karena seperti yang biasa terjadi juga, seorang ayah seringkali ingkar akan nafkah anak-anaknya ketika berpisah dengan ibunya, padahal hutang ayah terhadap anak-anaknya juga akan dihitung sampai maut menjemputnya dan dipertanyakan kelak di akhirat.
Seharusnya, anak di bawah 12 tahun meski dibawah asuhan ibu kandungnya, tetap ayahnya-lah yang menafkahi, tetapi kebanyakan si ayah mau menafkahi anak kalau anak tersebut ikut dengan dia, kalau tidak ya jadi urusan si ibu. Karena takut ibunya si anak yang makan uang nafkahnya.
Padahal kadang dia lupa juga, kalau mantan istrinya adalah ibu menyusui, sedangkan memberi nafkah bayi yang masih menyusu ya melalui ibunya. Apa yang ibunya makan, itulah nafkah untuk anaknya karena anaknya menyusu pada ibunya. Nutrisi si bayi ya melalui ibunya.
Lagipula, seharusnya dia bisa menghitung keperluan makan dan susu anak sebulan berapa, biaya pendidikan berapa, dan sebagainya. Paling murah bayar uang sekolah swasta yang dekat rumah tiap bulan saja 550 ribu, misalnya.
Kirim 1 juta perbulan saja tidak cukup untuk biaya makan selama 1 bulan untuk dua orang anak, apalagi jika 1 juta dipotong untuk uang sekolah bagi seorang anak. Padahal biaya masuk sekolah saja sudah dibayarkan oleh orang lain, kakeknya (bapak ibunya) si anak, contohnya.
Kirim 1 juta perbulan saja tidak cukup untuk biaya makan selama 1 bulan untuk dua orang anak, apalagi jika 1 juta dipotong untuk uang sekolah bagi seorang anak. Padahal biaya masuk sekolah saja sudah dibayarkan oleh orang lain, kakeknya (bapak ibunya) si anak, contohnya.
Mau masuk sekolah negeri yang lokasinya lebih jauh? Hanya karena gratis? Lalu siapa yang antar? Waktu masih menikah dengan ibunya saja si ayah nggak bisa diharapkan buat antar jemput anak, padahal sekolahnya dekat rumah. Bobo di rumah saja tidak pernah. Heheheee ...
Tapi mending sih kalau masih ada kesadaran diri menafkahi, kalau tidak sama sekali ya tambah parah.
Tapi mending sih kalau masih ada kesadaran diri menafkahi, kalau tidak sama sekali ya tambah parah.
Begitulah kadang ... maafkan kalau cerita saya selalu merambat kemana-mana ... intinya sih, kejujuran itu sangat penting di dalam sebuah pernikahan.
Kalau sudah tidak cinta pada istri, jujurlah. Kalau memiliki wanita lain dalam hidupmu, tolonglah bersikap jujur. Karena wanita juga punya hak yang sama denganmu, berhak untuk bahagia juga.
Kamu tidak akan kalah karena meminta maaf atas kesalahan yang kamu perbuat, tapi kamu adalah seorang pengecut dan pecundang jika tidak mampu bersikap sebagai seorang lelaki yang berani berkata jujur.
Layangan putus yang sudah usang masih berharap diterima kembali oleh pemiliknya, padahal angin sudah membawanya berkelana dan mendarat di tempat yang lain.
Kalaupun sang pemilik menemukannya lagi dan menyadari bahwa si layangan sudah robek atau patah sehingga tak lagi utuh seperti dahulu, ia pun akan meremasnya agar muat di dalam tong sampah rumahnya.
Layangan putus ...
Kau biarkan angin membawamu terbang tak tentu arah, lalu mendarat di tempat yang tidak baik sehingga membuatmu tampak buruk di mata setiap orang, jadi tiada alasan yang cukup baik juga untuk si pemilik meraihmu kembali.
Keterangan: Telah dilakukan pengeditan judul, label, url link, dan deskripsi pada tanggal 3 Desember 2021.
5 comments
Kalo layangan putus persoalannya ada di :
BalasHapus- simpulnya gak kuat
- benangnya
- anginnya yang kencang
- salah arena main. Misal main di dalam kandang ayam, jiaaah #salahcontoh.
Intinya sih,layangan putus masih bagus kok mom, Cmumut punya beberapa layangan hasil dari layangan yg putus. Tinggal ganti benang dan pemain layangannya aja yg mesti bener hehehe.
Wkwkwkkk ... Cmumut, ayoo main layangan ... Kuambil buluh sebatang, kupotong sama panjang. Kuraut dan kutimbang dengan benang, kujadikan layang-layang. #malahnyanyi
HapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusYang kuat ya mbak ��
BalasHapusAnu, ini tentang Mommi Asf kok Pak. Wkwkwk ... cuman kebawa gemes saja, oops.
Hapus