Kapal Wisata Pesut Bentong Menyusuri Sungai Mahakam Menuju Cagar Wisata Budaya Tenggarong
Ambil quote dari TikTok/Reels. Sumber Foto: Annisa Tang |
Healing!
Sekitar pertengahan Februari, namaku tercantum sebagai salah satu orang yang terpilih untuk turut serta dalam perjalanan wisata cagar budaya, susur Sungai Mahakam dan menjelajah kebudayaan Kutai Kartanegara di Tenggarong yang diadakan oleh BPCB (Balai Pelestarian Cagar Budaya) Kaltim.
Ketika itu, sudah direncanakan untuk tanggal pasti keberangkatan kami adalah hari Selasa tanggal 22 Februari 2022, namun sayangnya Kalimantan Timur dilanda badai Pandemi yang jumlahnya meningkat lagi sehingga satgas covid tidak bisa mengeluarkan surat ijin jalan.
Kota Balikpapan dan sekitarnya pun masuk PPKM 3, membuat semua perencanaan yang telah matang dibuat menjadi 'ambyar'.
Berdasarkan surat edaran dari BPCB Kaltim, pelaksanaan wisata cagar budaya tersebut ditunda palaksanaannya sampai batas waktu yang tidak bisa ditentukan.
Rutinitas pun kembali berjalan seperti biasa bersama anak-anak di rumah, membuat draft blog, telponan dan chatting setiap malam dengan kekasih yang berhubungan secara jarak jauh alias Long Distance Relationship, dimana setiap akhir pekan saja kami menghabiskan waktu bersama, kemudian menjalankan ibadah puasa juga.
Rasanya semakin jauh dari pengumuman keberangkatan wisata cagar budaya bersama kawan-kawan yang 'sefrekuensi' tersebut.
Sampai pada saat seminggu sebelum Hari Raya Idul Fitri tiba, hubunganku dan kekasih saat itu putus karena sesuatu hal, aku mengalami broken heart parah sehingga hanya mengurung diri saja di dalam kamar dan tidak bergairah untuk melakukan apapun.
Luka hati terlanjur terbuka lebar sehingga mau langsung pulih juga sulit. Pertanyaan 'mengapa bisa terjadi', 'mengapa aku begitu bodoh', 'mengapa dia bisa begitu tega', datang silih berganti di benakku.
Belasan tahun, bahkan puluhan tahun saling mengenal, bersahabat, hancur begitu saja karena kesalahan kami berdua.
Syukurlah dalam kekalutan hati yang kualami, pemberitahuan dari BPCB Kaltim kembali turun dimana kabarnya tidak lama setelah lebaran, kami akan melakukan perjalanan. Tanggalnya sudah ada, tinggal menunggu surat dari satgas covidnya lagi.
Sebenarnya aku sempat bimbang karena aku sudah tidak bersemangat lagi untuk melangkah.
Aku tidak yakin saja kalau aku bakal menikmatinya dalam kondisi hati seperti ini. Namun kemudian aku menyadari bahwa dia baik-baik saja tanpa aku, lalu mengapa aku harus tidak baik-baik saja tanpa dia. Aku pun memutuskan untuk ikut.
Seperti kata-kata yang sedang viral, "Kalau masalahmu tidak ada jalan keluarnya, maka kamu yang harus keluar untuk jalan-jalan."
Akhirnya pada tanggal 18 Mei 2022, bersama seorang kawan blogger, Kak Rosanna Simanjuntak, kami pun cuzz meluncur ke Kota Samarinda, dengan diantar mobil oleh suaminya. Sayang kawan blogger yang satu lagi, Mbak Aisyah Dian, belum pulang pasca mudik ke Jawa. Padahal pasti tambah seru kalau berangkat bertiga.
Welcome to Samarinda
Kami berangkat dari Balikpapan sekitar pukul 2 siang dan tiba di Samarinda melalui jalur biasa pada pukul setengah 5 sore. Itu pun sudah sempat mampir untuk solat ashar di salah satu masjid milik SPBU Loa Janan.
Kemudian, ketika tiba di Kota Samarinda, kami mampir dulu di Big Mall sekedar untuk menyegarkan pikiran pasca perjalanan darat yang jauh dan melelahkan.
Samarinda Big Mall. Sumber Foto Pribadi (difotokan Kak Ros) |
Setelahnya barulah kami meluncur ke rumah temannya Kak Ros, kawan blogger yang mengajakku serta tersebut, di Juanda 1, untuk menumpang menginap dalam semalam.
Tuan rumah beserta keluarganya sangat humble dalam menyambut kami, dan lebih takjub lagi karena belakangan baru kuketahui bahwa ternyata tuan rumah tersebut adalah adik kandung dari Walikota Balikpapan ke 9, yaitu Bapak Imdaad Hamid.
Ternyata kerendahan hati memang bukan lahir dari ketidak-berpunyaan, melainkan lahir dari sebuah ketulusan, siapapun orangnya dan tanpa mengenal strata sosial.
InsyaAllah tambah banyak rezekinya bagi orang-orang yang bersikap tulus pada orang lain, aamiin.
Dermaga Mahakam Ilir
Samarinda, 19 Mei 2022
Di Dermaga Mahakam Ilir. Sumber Foto: Kak Rosanna dan pribadi |
Nah, di sini adalah titik awal para peserta berkumpul dimana kami diwajibkan untuk melakukan registrasi awal terlebih dahulu, kemudian mengantri kembali untuk mendapatkan starter kit dan breakfast.
Di dalam goody bag-nya, kami mendapatkan topi sebagai pelindung kepala dari panas terik mentari, semacam topi penjelajah gitulah, yang bentuknya bundar dan ada talinya.
Kami juga mendapatkan baju kaos sebagai seragam penjelajah, serta dapat bolpoin dengan buku catatannya.
Wah, seru banget, kami jadi merasa seperti si bolang bocah petualang.
Jam 6 pagi adalah waktu kami berkumpul di dermaga untuk melakukan registrasi dan pengambilan starter kit, kemudian kami menunggu kapal nomor 1, yaitu Pesut Bentong untuk berlabuh terlebih dahulu, sementara kapal nomor 2 (Pesut Mahakam) sudah memamerkan dirinya di sisi dermaga.
Kebetulan aku dan Kak Ros kebagian satu kapal di Pesut Bentong, bersama seorang kawan blogger kami juga (Blogger Balikpapan), yaitu Mas Aal, yang memang kini berdomisili di Kota Samarinda.
Salut sama mas yang satu ini, karena 3 hari sebelum terlaksananya acara menjelajah cagar budaya, beliau baru saja mengalami kecelakaan motor yang mencederai sebelah kakinya, tetapi beliau tetap mengusahakan diri untuk turut serta dalam perjalanan.
Mas Aal ini sering menjuarai lomba menulis blog, jadi tidak heran kalau dalam menjalankan profesinya sebagai seorang blogger, beliau memang totalitas.
Kapal Wisata Pesut Bentong dan Susur Sungai Mahakam
Peserta jelajah cagar wisata ini terdiri dari berbagai tingkat usia dan berbagai kalangan atau komunitas.
Ada yang masih pelajar, ada juga mahasiswa, guru, dosen, blogger, vlogger, penulis, digital marketing, dan komunitas-komunitas lainnya.
Aku merasa beruntung bisa masuk ke dalam kapal nomor 1 ini, karena lebih besar kapasitasnya, dan bersama beberapa kawan yang aku kenal. Apalagi ada beberapa peserta yang terpisah kapal dari rombongannya.
Wisata Susur Sungai Mahakam dengan Kapal Wisata Pesut Bentong. Sumber Foto: Pribadi |
Nah, sekitar jam 9, barulah kami mulai melakukan susur Sungai Mahakam menuju Tenggarong, dimana waktu tempuhnya bisa memakan 3 jam perjalanan. Tapi tidak membosankan karena kami berkumpul untuk saling bercerita, dan juga disuguhin cerita-cerita menarik dari narasumber pilihan.
Narasumber pertama kami adalah Pak Fajar Alam, seorang dosen dari Universitas Muhammadiyah Kalimantan Timur (UMKT) Samarinda.
Lalu narasumber kami yang kedua adalah Agung dan Wahyu, para pemuda bersemangat perwakilan dari Laskar Rempah Kaltim. Laskar Rempah adalah program baru dinas kebudayaan dan pariwisata untuk para pemuda yang terpilih sebagai peserta muhibah budaya jalur rempah.
Selain itu, kami juga didampingi oleh MC perempuan yang ceria, bernama Eta, dimana profesinya si Eta ini adalah reporter RCTI di Balikpapan.
Sepanjang susur sungai pun, kami disuguhi dengan pemandangan yang tidak biasanya, dimana ada speedboat polisi maritim yang ikut mendampingi perjalanan kami, kemudian Kapal Wisata Pesut Etam yang kadang mendahului kami, kapal pengangkut batu bara, lalu melewati beberapa jembatan mahakam mulai yang warna silver hingga warna merah, dan bahkan kami melewati Big Mall-nya Kota Samarinda loh.
Kalau melewati mall dari darat mungkin biasa saja, tapi melewati mall dari sungai, bagiku sangat luar biasa.
Dermaga Museum Mulawarman
Yeyy, finally kami tiba juga di Tenggarong dan lebih tepatnya di Dermaga Museum Mulawarman dimana ini adalah dermaga khusus buat wisatawan untuk memudahkan langsung mengunjungi Museum Mulawarman.
Dermaga Museum Mulawarman. Sumber Foto: Pribadi |
Gimana tidak mudah kalau tamu yang berkunjung tinggal menyeberang dermaga untuk mampir ke museum dan melihat barang-barang peninggalan kerajaan Kutai Kartanegara yang sangat luar biasa itu.
Wisata Cagar Budaya Kalimantan Timur
- Museum Mulawarman
Atas (ki-ka): Depan museum, kursi tahta sultan, patung pejabat tingkat 2 Kutai. Bawah (ki-ka): Patung Lembuswana, mahkota sultan, barang peninggalan kesultanan. Sumber Foto: Pribadi |
Sebelum turun ke dermaga, para peserta tur museum, diberikan kain berbentuk segitiga untuk dililitkan dulu pada pinggang masing-masingnya, dengan posisi segitiganya berada di paha sebelah kiri.
Kerajaan Kutai Kartanegara merupakan salah satu kerajaan yang bercorak Hindu pada saat berdirinya sebelum Islam masuk, sehingga untuk menghormati kerajaan, sekaligus memberi tanda pada pengunjung yang akan masuk, maka disediakannya-lah kain kuning, diadaptasi oleh umat Hindu Bali dan para pengunjung yang diwajibkan untuk menggunakan selendang pinggang berwarna kuning terlebih dahulu, ketika akan memasuki lokasi-lokasi yang sakral.
Tapi ini kami dikasih langsung oleh BPCB Kaltim dong, jadi bisa disimpan sebagai kenang-kenangan, ada tulisan cetakkan 'Wisata Cagar Budaya 2022' dari BPCB juga. Kerenlah!
Setelah menggunakan kain kuning segitiga, kami juga dapat menyaksikan terlebih dahulu tarian persembahan Kutai yang dilakukan guna menyambut tamu di dermaga tersebut.
Kemudian di dalam museum, kami menuju ke dalam aula pertemuan terlebih dahulu untuk mendengarkan kembali pengarahan dari Bapak Muslimin dan dua orang rekanan beliau, setelah kami menyaksikan Kancet Menyelama Sakai alias tarian penyambutan tamu dari Dayak Kenyah, yang diiringi dengan alat musik khas Kalimantan Timur, yaitu Sape.
Kami juga diberikan kesempatan untuk makan siang terlebih dahulu, karena begitu masuk ke dalam ruangan, panitia sudah langsung membagikan kotakan kepada kami.
Setelah istirahat dan menerima kata perkata sambutan serta tarian di dalam aula pertemuan, kami pun diijinkan untuk melakukan tur di dalam museum, dimana di sini, kita bukan hanya dapat melihat sisa peninggalan Kerajaan Kutai Kartanegara, melainkan juga bisa melihat patung-patung pejabat tingkat 2 Kutai yang diabadikan di dalam museum ini juga.
Sayang waktu terasa sangat singkat, kami hanya diberi kesempatan selama 15 menit untuk melakukan tur di dalam museum. Syukurlah aku sempat mengabadikan secara langsung patung lembuswana khas Kutai karena merupakan hewan mitologi Kutai yang menjadi lambang kerajaan Kutai hingga kesultanan Kutai Kartanegara.
Lembuswana ini merupakan hewan perpaduan singa, gajah, garuda, bahkan ikan dimana ia memiliki kepala singa yang bermahkota (melambangkan raja/pemilik kekuasaan), namun berbelalai gajah (melambangkan dewa ganesha/dewa kecerdasan), bersayap garuda dan bersisik ikan.
Hewan tersebut adalah hewan yang disucikan karena merupakan tunggangan Dewa Batara Guru dalam memberikan petuah dan petunjuknya.
Selain itu beberapa barang peninggalan kerajaan juga sempat aku abadikan, beserta patung-patung para pejabat yang sempat menduduki kursi pemerintahan di sana.
- Makam Raja-raja Kutai
Makam raja-raja Kutai, termasuk Kesultanan Kartanegara dimana salah satunya adalah makan Sultan Aji Muhammad Sulaiman (nama Bandara Internasional Balikpapan) Sumber Foto: Pribadi |
Nah, tujuan selanjutnya kami adalah berjalan kaki keluar gedung museum dan menuju taman makan raja-raja Kutai, dimana di sana kami menemukan makan Sultan Aji Muhammad Sulaiman yang cukup berjasa bagi Kota Balikpapan sehingga namanya digunakan sebagai nama Bandara Internasional Kota Balikpapan.
- Masjid Jami Aji Amir Hasanuddin
Masjid Jami Aji Amir Hasanuddin.
Sumber Foto: Pribadi
Setelah mengunjungi makan para sultan Kutai, perjalanan selanjutnya adalah ke cagar budaya yang sudah berdiri sejak tahun 1874 oleh Sultan Sulaiman, yaitu berupa mushola kecil, dimana pada tahun 1930 dibangun menjadi sebuah masjid besar oleh cucunya yaitu Sultan Adji Mohammad Parikesit, dengan diprakarsai oleh seorang menteri kerajaan yang bernama Adji Amir Hasanoeddin dan bergelar Haji Adji Pangeran Sosronegoro.
Nama menteri tersebutlah yang kemudian diambil sebagai nama dari masjid peninggalan sejarah dan budaya ini.
Di masjid ini, para peserta yang belum sempat melakukan solat dzuhur di Museum Mulawarman, dapat mengambil kesempatan untuk melaksanakannya di sini.
Sementara itu, yang lainnya bisa beristirahat terlebih dahulu, sebelum melakukan perjalanan kaki yang cukup panjang menuju cagar budaya berikutnya.
Tidak lupa untuk mendokumentasikan beberapa tampilan menarik di cagar budaya masjid ini.
- Rumah Besar Sangkoh
Perjalanan menuju Rumah Besar Sangkoh dan ketika tiba di tujuan.
Sumber Foto: Pribadi
Walau jarak tempuh dengan berjalan kaki cukup jauh dari Masjid Jami Aji Amir Hasanuddin cukup jauh, namun tidak begitu membosankan, karena kami melewati jembatan dimana pada sisinya dapat melihat sungai dengan pohon berjejer di tepiannya, serta melewati Jam Nii Room yang merupakan salah satu situs cagar budaya yang ada di Kalimantan Timur juga.
Jam Nii Room dulu dibangun sebagai peringatan atas pertunangan Putri Juliana dan Pangeran BenharVant Bestervelt yang berlangsung pada tanggal 8 September 1936 di Amsterdam sebagai lambang lintasan waktu (masa silam, masa kini, dan masa depan).
Setelah berjalan sekitar 700 meter, akhirnya kami sampai juga di Rumah Besar Sangkoh dimana merupakan rumah tua di Kutai yang masih menjalankan adat istiadat Kutai dengan rinci.
Di Rumah Besar Sangkoh, kami diijinkan untuk makan kudapan sore terlebih dahulu sembari menonton Tari Topeng Kemindu yang dipersembahkan oleh seorang gadis Kutai.
Setelah itu kami diijinkan berkeliling ke Rumah Besar Sangkoh guna melihat-lihat keadaan di dalam yang penuh foto-foto lama, serta menyaksikan sendiri salah satu adat Kutai yang masih dijalankan hingga kini, yaitu Upacara Naik Ayun, sebelum kembali ke Dermaga Museum Mulawarman.
Upacara Naik Ayun - Kutai
Upacara Naik Ayun ini dikhususkan bagi bayi berusia 40 hari, dimana pelaksanaannya bersamaan dengan tasmiyah pada agama Islam. Jadi di sini sudah campur antara Kutai dan Islam, yaitu setelah diadakannya tasmiyah, langsung disambung dengan Upacara Naik Ayun.
Langkah awal dari upacara ini adalah pembacaan Berianzi (puji-pujian kepada Rasul), sementara bayinya digendong oleh 'tetuha' di keluarga besarnya yang berdiri di atas Tilam Kesturi.
Kemudian secara bergilir laki-laki sesepuh keluarga atau pemuka masyarakat yang hadir bergantian memasukkan anak ke dalam ayun seraya ditempung-tawari dan ditaburi beras kuning.
Setiap kali anak dimasukkan ke ayun, maka selembar alas kain tajong (sarung) dan diletakkan di sampiran di depan rumah, dilakukan secara berturut-turut sebanyak 5 kali dan setiap memasukkan anak kedalam ayun dengan diiringi oleh bacaan salawat nabi.
Setelahnya dilanjutkan dengan acara pemotongan rambut secara bergilir, yakni beberapa helai rambut anak dipegang bersama-sama dengan buah-buahan ramut dan dipotong dengan gunting.
Rambut yang telah dipotong itu pun dimasukkan ke dalam buah kelapa gading, kemudian anak ditempung-tawari dan ditabur beras kuning.
Sebagai pengeras, kepada yang menaikkan anak ke ayun memperoleh uang sekedarnya yang dibungkus kertas dan bagi yang memotong rambut anak memperoleh buah-buahan rambut.
Perlengkapan untuk Upacara Naik Ayun.
Sumber Foto: Pribadi
Selesai acara menaikkan ayun, maka dilanjutkan dengan acara mengedarkan ayam putih dan sebatang lilin yang menyala mengitari ayun dari sebelah kanan ke kiri sebanyak tiga kali oleh wanita yang memimpin acara ini.
Kemudian lolong ayam dilukai dan darahnya dicolekkan di antara kedua alis anak, yang disebut dengan Becerak Darah.
Selanjutnya lilin dimatikan dan jelaga pada sumber lilin tersebut dipoleskan ke dahi anak, yang disebut dengan Becerak Lilin.
Masjid Jami Aji Amir Hasanuddin. Sumber Foto: Pribadi |
Setelah mengunjungi makan para sultan Kutai, perjalanan selanjutnya adalah ke cagar budaya yang sudah berdiri sejak tahun 1874 oleh Sultan Sulaiman, yaitu berupa mushola kecil, dimana pada tahun 1930 dibangun menjadi sebuah masjid besar oleh cucunya yaitu Sultan Adji Mohammad Parikesit, dengan diprakarsai oleh seorang menteri kerajaan yang bernama Adji Amir Hasanoeddin dan bergelar Haji Adji Pangeran Sosronegoro.
Nama menteri tersebutlah yang kemudian diambil sebagai nama dari masjid peninggalan sejarah dan budaya ini.
Di masjid ini, para peserta yang belum sempat melakukan solat dzuhur di Museum Mulawarman, dapat mengambil kesempatan untuk melaksanakannya di sini.
Sementara itu, yang lainnya bisa beristirahat terlebih dahulu, sebelum melakukan perjalanan kaki yang cukup panjang menuju cagar budaya berikutnya.
Tidak lupa untuk mendokumentasikan beberapa tampilan menarik di cagar budaya masjid ini.
- Rumah Besar Sangkoh
Perjalanan menuju Rumah Besar Sangkoh dan ketika tiba di tujuan. Sumber Foto: Pribadi |
Walau jarak tempuh dengan berjalan kaki cukup jauh dari Masjid Jami Aji Amir Hasanuddin cukup jauh, namun tidak begitu membosankan, karena kami melewati jembatan dimana pada sisinya dapat melihat sungai dengan pohon berjejer di tepiannya, serta melewati Jam Nii Room yang merupakan salah satu situs cagar budaya yang ada di Kalimantan Timur juga.
Jam Nii Room dulu dibangun sebagai peringatan atas pertunangan Putri Juliana dan Pangeran BenharVant Bestervelt yang berlangsung pada tanggal 8 September 1936 di Amsterdam sebagai lambang lintasan waktu (masa silam, masa kini, dan masa depan).
Setelah berjalan sekitar 700 meter, akhirnya kami sampai juga di Rumah Besar Sangkoh dimana merupakan rumah tua di Kutai yang masih menjalankan adat istiadat Kutai dengan rinci.
Di Rumah Besar Sangkoh, kami diijinkan untuk makan kudapan sore terlebih dahulu sembari menonton Tari Topeng Kemindu yang dipersembahkan oleh seorang gadis Kutai.
Setelah itu kami diijinkan berkeliling ke Rumah Besar Sangkoh guna melihat-lihat keadaan di dalam yang penuh foto-foto lama, serta menyaksikan sendiri salah satu adat Kutai yang masih dijalankan hingga kini, yaitu Upacara Naik Ayun, sebelum kembali ke Dermaga Museum Mulawarman.
Upacara Naik Ayun - Kutai
Upacara Naik Ayun ini dikhususkan bagi bayi berusia 40 hari, dimana pelaksanaannya bersamaan dengan tasmiyah pada agama Islam. Jadi di sini sudah campur antara Kutai dan Islam, yaitu setelah diadakannya tasmiyah, langsung disambung dengan Upacara Naik Ayun.
Langkah awal dari upacara ini adalah pembacaan Berianzi (puji-pujian kepada Rasul), sementara bayinya digendong oleh 'tetuha' di keluarga besarnya yang berdiri di atas Tilam Kesturi.
Kemudian secara bergilir laki-laki sesepuh keluarga atau pemuka masyarakat yang hadir bergantian memasukkan anak ke dalam ayun seraya ditempung-tawari dan ditaburi beras kuning.
Setiap kali anak dimasukkan ke ayun, maka selembar alas kain tajong (sarung) dan diletakkan di sampiran di depan rumah, dilakukan secara berturut-turut sebanyak 5 kali dan setiap memasukkan anak kedalam ayun dengan diiringi oleh bacaan salawat nabi.
Setelahnya dilanjutkan dengan acara pemotongan rambut secara bergilir, yakni beberapa helai rambut anak dipegang bersama-sama dengan buah-buahan ramut dan dipotong dengan gunting.
Rambut yang telah dipotong itu pun dimasukkan ke dalam buah kelapa gading, kemudian anak ditempung-tawari dan ditabur beras kuning.
Sebagai pengeras, kepada yang menaikkan anak ke ayun memperoleh uang sekedarnya yang dibungkus kertas dan bagi yang memotong rambut anak memperoleh buah-buahan rambut.
Perlengkapan untuk Upacara Naik Ayun. Sumber Foto: Pribadi |
Selesai acara menaikkan ayun, maka dilanjutkan dengan acara mengedarkan ayam putih dan sebatang lilin yang menyala mengitari ayun dari sebelah kanan ke kiri sebanyak tiga kali oleh wanita yang memimpin acara ini.
Kemudian lolong ayam dilukai dan darahnya dicolekkan di antara kedua alis anak, yang disebut dengan Becerak Darah.
Selanjutnya lilin dimatikan dan jelaga pada sumber lilin tersebut dipoleskan ke dahi anak, yang disebut dengan Becerak Lilin.
Setelah itu sang anak digendong oleh ibunya, beserta ayah dan saudara-saudaranya berdiri di atas Tapeh (batik) atau Tajong (sarung) yang disusun berlapis-lapis, lalu Nasi Rasul dan lilin yang menyala diangkat setinggi kepala.
Nasi Rasul disantap oleh anak, ibunya, ayah, serta saudara-saudaranya.
Kemudian didirikannya-lah tegak daun kelapa yang telah ditusuki dengan kue apam putih dan apam habang (merah) di puncaknya dipegang lilin yang menyala.
Kue apam tersebut pun di santap oleh anak, ibunya, ayah serta saudara-saudaranya juga.
Acara tersebut bernama Tumbang Apam dan Nasi Rasul.
Sementara acara tersebut berlangsung, terus diteriakkan pula Salawat Nabi oleh tamu atau keluarga yang hadir dan diramaikan dengan 'behambur beras kuning' yang dicampur dengan kepingan-kepingan uang logam.
Mereka yang hadir di tempat acara, terutama anak-anak pun berebutan uang logam tersebut sebagai oleh-oleh untuk dibawa pulang.
Selesai acara Tumbang Apam dan Nasi Rasul ini, sekali lagi para undangan yang hadir berebut uang sebagai oleh-oleh yang disembunyikan di bawah lapisan-lapisan lain Tapeh/Tajong.
Akhir acara, sang ibu menggendong anaknya dan duduk di atas tilam kesturi, lalu oleh wanita tetua yang memimpin acara (tempo dulunya adalah bidan yang menolong melahirkan anak itu dimana disebut 'Sanro'), si anak pun dicicipi pisang, bertus, Nasi Rasul, dan lain-lain, kemudian anak 'dipelas' (diinjakkan kakinya pada besi, batu penunggu ayun, kemudian segumpal tanah, serta digenggamkan emas dan perak.
Anak dan ibu ditempung tawari, dicacapi air bunga, dan kepada ibu diisyaratkan untuk mematikan lilin dengan meniupnya, sekaligus jelaga sumbu lilin tersebut dipoleskan pada dahinya (becerak lilin).
Pada penutup upacara ini, ibu dan sanro ditarik ketikai lepas untuk mengungkapkan rasa syukur bahwa hajat dalam melaksanakan Naik Ayun sudah selesai dengan selamat.
Wisata Cagar Budaya Usai
Time to go home!
Lelah tapi sangat menyenangkan bagi kami, karena selain dapat berkunjung ke berbagai destinasi wisata budaya di Tenggarong, kami juga dapat banyak pengetahuan mengenai kebudayaan di bumi tempat kami berpijak sendiri.
Bayangkan saja, sebagian dari kami yang lahir dan besar di bumi etam ini ternyata masih belum begitu banyak mengenal kebudayaan di tanah kelahiran kami sendiri.
Perjalanan kembali ke Dermaga Museum Mulawarman. Sumber Foto: Pribadi |
Perjalanan pulang kami kembali menuju ke Dermaga Museum Mulawarman, melewati Tugu Adipura Tenggarong dimana menyerupai satu buah tangan yang sedang menopang piagamnya yang dikelilingi oleh beberapa buah patung Lembuswana.
Susur Sungai Mahakam Ke Samarinda
Finally, sudah di dalam Kapal Wisata Pesut Bentong lagi!
Waktu sudah menunjukkan sore hari dimana cuaca juga sedikit berawan dan sempat turun hujan rintik.
Di perjalanan hari menjelang gelap sehingga kami dibagikan kotakan santapan malam agar perut tetap kenyang dan masih tetap segar ketika mengobrol bersama narasumber kembali.
Kali ini peserta yang antusias bertanya pada narasumber, akan dihadiahi sebuah buku yang berkaitan dengan budaya serta sejarah kaltim.
Wow! Aku mendadak antusias juga dong ya untuk bertanya.
Nah narasumber yang pertama pada perjalanan pulang ini adalah Bapak Samsir selaku dosen UISIN (Universitas Islam Negeri Sultan Aji Muhammad Idris) Samarinda. Aku dapat hadiah buku dari beliau nih karena bertanya, hehehe.
BPCB Kaltim dan Narasumber. Sumber Foto: Pribadi |
Narasumber kedua ada dua orang loh, yaitu pasangan Duta Budaya Balikpapan 2022, yaitu Caesar dan Dealsy. Kami juga masih ditemani oleh Eta (reporter RCTI Kaltim) sebagai MC-nya.
Pokoknya walau tiba di tujuan sudah dalam kondisi gelap gulita karena malam pun tiba, tetapi kami masih ceria satu sama lainnya.
Hello Again Samarinda!
Back to Dermaga Mahakam Ilir.
Kami sudah macam penjaga tamu karena setiap peserta yang lewat selalu menyapa sembari mengucapkan salam perpisahan.
Lumayan dapat banyak kenalan, dari yang muda sampai yang tua, semuanya ada di sini, dan semuanya tentu cinta kaltim karena hadir sebagai pemerhati kebudayaan yang ada di Kalimantan Timur ini.
Aku dan Kak Ros juga sempat jepret-jepret bareng Duta Budaya Balikpapan 2022 dan MC cantik kami di Pesut Bentong, sebelum kami menunggu suaminya Kak Ros datang menjemput untuk kemudian mengambil tas di rumah temannya Kak Ros dan kembali ke kampung halaman, yaitu Kota Balikpapan.
Keseruan kami dari pagi hingga malam. Sumber Foto: Pribadi |
Back to Balikpapan
Disitu bumi kupijak, maka disitu pulalah langit kujunjung.
Aku tidak memiliki darah Kalimantan Timur, tapi jiwaku ada di sini, sehingga kemanapun kaki ini melangkah, hatiku tetap ada di sini, khususnya di kota kelahiranku, Kota Balikpapan.
Sama halnya ketika aku meletakkan hati dan kepercayaanku padamu, dimanapun ragaku berada, jiwaku selalu bersamamu. Maka, ketika aku kehilanganmu, kamu juga kehilangan orang yang mencintaimu.
Syukurlah aku dan Kalimantan Timur saling mencintai, dimana dia yang menyajikan sementara aku yang melestarikan.
Thank you BPCB Kaltim, panitia acara, dan para narasumber yang sudah membersamai perjalanan kami.
Terimakasih juga buat Kak Ros dan suami atas tumpangan transportasi antar kotanya, selamat pulang - pergi dan dari - ke tujuan.
1 comments
aih senangnya coba kalau aku bisa ikutan apalagi lihat museum aku paling suka
BalasHapus