Karakteristik Orpa - Potret Kartini dari Tanah Papua
Premier Orpa bersama kawan satu komunitas. Sumber Foto: Pribadi |
Kala itu teman satu komunitas menyebarkan flyer untuk nobar sebuah film panjang yang menang dalam JAFF Jogja yang berjudul Orpa dan bersetting lokasi di Papua.
Awalnya aku berpikir Orpa ini adalah bahasa Papua yang berarti kawin lari atau apa gitu, semacam Silariang dari Makasar, karena bocoran sinopsisnya adalah berkisah tentang seorang gadis Papua yang lahir dalam keluarga konservatif dimana ayahnya menganggap bahwa pendidikan bagi anak perempuan itu percuma saja karena bakal dibawa ke dapur juga.
Saat nobar dimulai, aku baru tahu bahwa Orpa adalah singkatan nama dari Orsila Murib, yaitu nama panggilan si tokoh utama yang dibujuk ayahnya untuk menikah saja, tidak perlu lanjut sekolah hingga ke perguruan tinggi bahkan dianggap untuk tak perlu mengambil ijazah lulus SMAnya.
Sang ayah berpikiran kolot dimana menganggap bersekolah bagi wanita hanyalah kesia-siaan belaka, membuang-buang uang saja, sementara kalau dirinya menerima pinangan dari lelaki untuk menikah muda, bukan hanya mahar yang mereka terima melainkan sepanjang sisa usia akan dibiayai oleh suaminya, tidak menjadi tanggungan dari keluarganya lagi.
Kami nobar di XXI Premier di Pentacity Kota Balikpapan loh pada hari Sabtu tanggal 05 Agustus 2023.
Nobar ini diadakan oleh komunitas sineas yang bernama Gambar Gerak, dimana sengaja diberikan kepada kami yang ingin terlebih dahulu menikmati filmnya.
Film Orpa sendiri baru tayang pada tanggal 07 September 2023 serentak di 22 kota, namun kami diijinkan untuk menikmati filmnya terlebih dahulu.
Menurutku film ini segar dengan pemain-pemain pendatang baru, kemudian ceritanya pun mengharu biru dengan balutan komedi di dalamnya.
Tokoh seseorang di luar RAS Papua yang dikisahkan sebagai pemusik yang sedang mencari inspirasi di tanah Papua bernama Ryan ikut melengkapi kesegaran di film ini karena petualangan Orpa dan Ryan di hutan pun dimulai.
Yang jelas ini film yang seru, segar, lucu, tapi juga banyak scenes yang membuat air mata turut berguguran, apalagi syutingnya di Tanah Papua yang pemandangan alamnya luar biasa indah.
Orpa
Seperti yang sudah sempat aku sampaikan sebelumnya kalau tokoh Orpa adalah seorang remaja perempuan asli Papua dengan ciri khas berambut keriting, berkulit gelap dan bertubuh tidak kurus atau lebih berisi.
Orpa memiliki seorang ibu dan bapak tiri dimana sang bapak menganggap bahwa tidak ada gunanya menyekolahkan seorang anak perempuan karena hanya akan menghabiskan uang saja, sedangkan pada akhirnya juga dia hanya akan mengurus rumah tangga, sehingga bapaknya memutuskan agar Orpa langsung menikah saja.
Bahkan bapaknya juga beranggapan agar tak perlu mengambil ijazah kelulusan SMAnya karena ijazah tersebut dianggap tidak ada gunanya bagi seorang anak perempuan.
Di sini penonton sudah dibikin gemas dengan pemikiran kolot sang bapak, apalagi bagi penonton wanita sepertiku.
Bukan hanya berpikiran kolot, melainkan otoriter dan kasar pula, sehingga Orpa dan sang bunda hanya memiliki pilihan untuk mengalah di hadapan bapaknya tersebut walau hatinya memberontak, tetap memiliki keinginan untuk meraih cita-citanya.
Cerita Orpa ini menarik, hanya saja aku agak bingung dengan latar belakang keluarga Orpa dimana kadang aku menangkap kisahnya bahwa ayah Orpa yang otoriter ini adalah ayah sambung, tapi pada beberapa scene memperlihatkan kalau sepertinya Orpa ini anak kandungnya.
Aku sempat mengambil kesimpulan kalau ayah kandung Orpa meninggalkan Orpa dan ibunya, kemudian ibunya menikah lagi dengan ayahnya yang 'in frame' tersebut, bahkan sempat punya anak namun anaknya meninggal, sehingga mereka merasa ketergantungan dengan ayahnya itu, namun menjelang akhir film interaksi Orpa dan ayahnya selayaknya ayah kandung yang benar-benar menyesal karena telah menghambat Orpa menggapai cita-citanya.
Entah aku yang agak lemot memahaminya atau memang kurangnya penjelasan mengenai latar belakang keluarganya si Orpa ini, sama satu scene lagi yang bikin aku bingung, yaitu kemunculan seorang tokoh wanita di dalam hutan yang sebenarnya nggak ada juga nggak masalah sih menurutku, heheheee, tapi over all is ok, dari segi dialog dan pengemasannya.
Ya gimana nggak oke, ini film juara loh di JAFF Jogja, jadi ya nggak diragukan lagi lah kecehnya.
Karakteristik Tokohnya
Selain karakter si ayah yang agak susah aku pahami, aku suka dengan karakter dua orang tokoh utamanya yang jelas, yaitu Orpa dan Ryan, dua orang dari kultur yang berbeda namun menjadi teman dadakan dalam perjalanan mereka ke satu tujuan yang sama.
Ada satu scene ketika Orpa dan Ryan sedang dalam perjalanan menelusuri hutan, Orpa menangkap seekor anak babi, lalu mengeluarkan pisau dan memberikannya kepada Ryan, lalu berkata, "Ayo Kakak Ryan, potong di sini."
Orpa juga melanjutkan kata-katanya ketika melihat Ryan memegang pisau dengan gemeteran, "Di Papua biasa laki-laki yang memotong hewan."
Di sini langsung bisa kita ketahui kalau kebiasaan di Papua adalah lelaki yang memotong hewan, kemudian Orpa orangnya lebih keras, sementara Ryan lebih lembut dan nggak tegaan.
Filmnya keren banget dah, mana pemandangan alam di Papua itu indah banget pula.
Semoga kalian sempat nonton filmnya dah ya, aku takut kalau kebanyakan bercerita di sini, ntar malah keceplosan spoiler, hihihiii.
Emak Blogger
Film 99 Nama Cinta
0 comments