-->

Sebuah Pilihan: Menjadi Dokter Karena Panggilan Jiwa atau Panggilan Materi


USG Mammae
Saya menggunakan baju RS untuk USG Mammae.
Sumber Foto: Pribadi

Bukan bermaksud mengdiskreditkan profesi dokter, bukan pula ingin menyinggung yang bersangkutan (saya tak akan menginformasikan dengan dokter siapa dan rumah sakit mana), tapi hanya ingin meluapkan sebuah unek-unek sebagai seorang pasien yang terluka.

Sekitar dua bulan lalu, saya ada mengisi formulir yang diluncurkan salah satu rumah sakit di Indonesia mengenai pemeriksaan MCU untuk mendeteksi dini kanker payudara yang dapat dilakukan di beberapa cabang mereka.

Bukan tanpa alasan saya mendaftar itu, tante saya (adik kandung mami saya) meninggal karena kanker ovarium pada awal bulan September tahun 2011, hanya selisih sekitar 3 atau 7 hari setelah meninggalnya tante beliau (adik kandung nenek saya) yang diakibatkan oleh kanker payudara.

Sekitar dua atau tiga tahunan lalu, istri om saya pun (adik ipar mami saya) meninggal karena kanker payudara. Ponakkan papa saya pun ada yang meninggal karena menderita kanker.

Begitu banyaknya kerabat saya yang meninggal karena kanker, membuat saya sedikit parno, apalagi saya pernah dengar mengenai turunan/gen menyilang, yaitu dari tante kepada keponakkannya. Seperti yang dialami oleh keluarga saya, gen kanker dari adik nenek saya menurun kepada tante saya, lalu apakah gen kanker tante saya akan menurun juga kepada keponakkan-keponakkannya dimana saya adalah salah satunya.

Hal tersebut membuat saya tidak ingin melewatkan pemeriksaan dini secara gratis. Dapat fasilitas gratis kok ditolak? Apalagi tinggal mendaftar melalui link, toh nantinya juga belum tentu terpilih jadi yang beruntung mendapatkan fasilitas tersebut.

Tapi siapa sangka di awal bulan Januari 2025, saya justru mendapatkan WA dari rumah sakit tersebut untuk pemeriksaan USG Payudara sehingga saya merasa cukup beruntung untuk itu. Saya bisa mengetahui kondisi kesehatan saya tersebut tanpa harus mengeluarkan biaya.

Status saya kan single mom, sehingga saya agak berat juga jika harus mengeluarkan uang 500rb ke atas untuk pemeriksaan tersebut.

Saya pun bersemangat sekali. Setelah mengantar anak-anak dan keponakkan saya berangkat sekolah, serta menunggui si bungsu masuk ke dalam kelas dahulu, jam setengah 8 saya langsung meluncur dari sekolah anak-anak menuju ke rumah sakit tersebut.

Sesampainya di rumah sakit dan sukses memarkir kendaraan dengan baik, saya disambut oleh security yang cukup informatif, saya diminta langsung menuju ke ruang MCU saja.

Pihak MCU juga menyambut saya dengan ramah dan baik. Setelah meminta KTP dan memperlihatkan WA chat dari RS-nya, saya diminta menunggu dulu.

Proses datanya cepat saja di bagian MCU karena hanya menunggu sebentar, saya pun disuruh langsung pergi ke ruangan Radiologi. Informasi yang diberikan juga sangat jelas dimana setelah memastikan alamat e-mail saya, saya boleh langsung pulang seusai dilakukan USG.

Ketika di ruang Radiologi, saya dimintai KTP dan disuruh menunggu, kemudian setelah menunggu, saya dipanggil lagi untuk mengembalikan KTP saya, lalu diminta menunggu lagi. Pihak frontliner di bagian Radiologi juga cukup sopan dan ramah.

Saya diminta menunggu karena dokternya belum datang. Sampai pada akhirnya sekitar jam 9 lewat 15 sampai 20 menit baru saya dipanggil untuk berganti pakaian periksa. Untuk pemeriksaan tersebut, saya sudah diinformasikan untuk tidak menggunakan deodorant dan bedak di daerah ketiak, tapi ternyata kalung juga tidak boleh dikenakan, jadi saya lepas dan taruh di dalam tas.

Syukurnya tas boleh dibawa sampai ke dalam ruang USG. Kalau pakaian dan jilbab saya tinggal di dalam lokernya.

Memang ruang Radiologinya agak kurang nyaman untuk muslimah karena setelah berganti pakaian rumah sakit, saya harus melintasi ruang tunggu dimana pasien laki-laki pun banyak juga di sana, menuju ke ruang USG payudara.

Sesampainya di ruang USG, saya diminta baring dulu oleh susternya sembari menunggu dokter datang. Syukurlah tidak begitu lama dokternya datang tergopoh-gopoh. Kebetulan dokter senior laki-laki (sudah tua). Saya sudah sempat diinformasikan sebelumnya kalau dokternya memang laki-laki dan saya bilang tidak masalah.

Mungkin beda prinsip dengan kebanyakan muslimah, kalau buat saya, saya tidak mempermasalahkan dokter lelaki atau wanita, karena ini berkaitan dengan pemeriksaan kesehatan, dan kondisinya saat itu memang tidak bisa memilih dokter lain, kan gratis.

Ketika memilih dokter kandungan dulu pun kebetulan saya lebih percayakan kelahiran bayi saya kepada dokter laki-laki yang memang sudah terkenal bagus dan kemudian mengikuti kata hati saya yang percaya sepenuhnya kelahiran bayi saya kepada dokter tersebut.

Nah lanjut lagi. Baru saja datang dokter tersebut dan melihat saya yang sempat beranjak dari tempat tidur mulai buru-buru baring kembali, dia langsung berkata, "Soalnya waktunya ini limited."

Dia sama sekali tidak ada menanyakan tujuan saya melakukan pemeriksaan tersebut, tak ada skrining dahulu melalui pertanyaan-pertanyaan, dan sebagainya. Hanya langsung melakukan USG. Bahkan sepanjang USG tidak ada menjelaskan kepada saya mengenai gambar pada layar tersebut.

Malahan sambil periksa, dokter itu terus mengoceh hal yang tidak ada hubungannya dengan pemeriksaan.

Pokoknya yang saya menangkap mengenai ocehannya itu adalah sebagai keluhan ketidak-ikhlasannya dalam melakukan pemeriksaan gratis. Ini

Awalnya dia terus bertanya, "Ini sebenarnya pemeriksaan gratis ini siapa yang ngadakan?"

Pertanyaan tersebut membuat saya bengong, karena saat itu saya lupa juga kalau memang itu program rumah sakit tempat dia praktek, jadi saya hanya bilang, "Saya lupa juga Dokter, saat itu saya hanya mengisi formulir pemeriksaan."

Lagipula saya kan sudah isi sekitar 2 bulan lalu. Saya saja tidak menyangka kalau saya dapat panggilan pemeriksaan ini.

Kemudian dia berkata dengan wajahnya yang berkerut-kerut, "Sebenarnya dokter di sini itu, sedikit atau banyak pasiennya, gajinya ya tetap sama, jadi saya itu nda butuh banyak-banyak pasien."

Dia terus mempertanyakan dan menyalahkan program gratis tersebut karena dia tidak tahu menahu mengenai program tersebut. Dia juga berkata, "Kalau periksa itu kan harusnya orang yang memang sudah ada indikasi, ini kan tidak murah. Kok ngasih periksa-periksa tanpa ada ke dokter dulu."

Saya tambah bingung dengan pernyataan dokter tersebut karena setahu saya kita semua disuruh melakukan pemeriksaan dini, bukan sudah sakit baru periksa.

Sama halnya papsmear, bukannya disarankan setahun sekali untuk papsmear? Sakit ataupun tidak sakit. Apa berbeda dengan USG Mammae kah???

Selesai memeriksa saya, dia langsung terburu-buru keluar sampai saya buru-buru juga menjelaskan dulu kalau saya periksa karena tante dan nenek saya ada yang meninggal akibat kanker.

Dia pun langsung mempromosikan channel youtube-nya yang mengedukasi tentang kanker, saya pikir dia tidak enak hati terhadap saya karena sempat mengomel tidak jelas kepada saya, tapi siapa nyana kalau ternyata dia malah mengomel dengan suara keras kepada pihak resepsion sampai terdengar ke telinga saya yang masih di dalam ruang USG, "Jangan ada lagi terima pasien periksa gratis ya? Tidak ada gratis-gratis."

Rasanya terluka banget hati saya sebagai pasien. Okelah dia sudah mengomel kepada saya secara langsung, kenapa masih harus mempermalukan pasien di depan umum? Di dalam ruangan yang tidak kedap itu kan juga tempat berseliweran pasien lain yang akan melakukan pemeriksaan juga. Itu ruangan kan bukan hanya untuk USG Payudara.

Saya pun berganti pakaian kembali di ruangan ganti dan kemudian melapor kembali kepada resepsion. Saya diminta menandatangi absen kehadiran. Saya lihat banyak nama lain juga di sana, tapi saya tidak paham apakah itu semua pasien mode gratis seperti saya atau tidak.


Kesan saya yang awalnya begitu baik dan happy-nya karena bisa melakukan pemeriksaan MCU secara cuma-cuma berubah jadi down dan begitu buruk karena sikap dokternya yang tidak baik.

Maaf hanya mau tanya ke sebagian dokter, memang sih sekolah kedokteran itu mahal, tapi tujuan seorang dokter untuk mengambil profesi tersebut pada saat itu, apakah agar bisa balik modal dan omset besar, atau panggilan jiwa untuk mengatasi permasalahan kesehatan pasien-pasiennya?

Karena menurut saya pemeriksaan dini untuk deteksi kanker itu sangat perlu, jangan sampai menunggu curiga dulu kalau ada yang salah dari diri ini baru pergi periksa. Bukankah sebaiknya diketahui sedini mungkin? Begitu pula gebrakan yang ditawarkan seluruh rumah sakit, yaitu pemeriksaan dini kanker payudara.

Kemudian apakah rumah sakit tidak mengedukasi dokternya mengenai program yang dia adakan apa saja? Kalau menyulitkan seorang dokter, lebih baik tidak diadakan saja.

Saya dengar malah kebijakan era Prabowo ini, siapa yang sedang berulang tahun, dia tinggal membawa KTP untuk melakukan MCU di puskesmasnya masing-masing secara gratis. Apa itu ada jaminan kalau dokter jaganya tidak merasa keberatan?

Mengenai rumah sakit dan dokternya, tidak perlu dicari tahu atau malah memberi tahu kepada yang lain (bagi yang pernah mengalami juga), sama-sama tahu saja, ini hanya sharing kecil saya mengenai pengalaman buruk saya berhadapan dengan oknum dokter yang menurut saya tidak memiliki panggilan jiwa sebagai seorang dokter.

Tapi boleh banget kalau ada yang mau sharing juga mengenai pengalaman pribadinya ketika berjumpa dokter yang memiliki panggilan jiwa sebagai seorang dokter ataupun panggilan materi. Yang penting tidak perlu menyebutkan detail dokter dan rumah sakitnya.

Tujuan sharing ini cuma agar para dokter dan oknum-oknum dokter bisa lebih terbuka hati dan pikirannya.

Semoga lebih banyak dokter yang memiliki panggilan jiwa sebagai seorang dokter, daripada sejumlah oknum yang hanya memikirkan untung dan rugi dalam berhadapan dengan pasien.

You Might Also Like

0 comments