Dulu ...
Sebelum saya menikah ...
Impian itu ada ...
Saya ingin memiliki suami yang dapat membuat saya lebih tunduk. Saya orangnya keras, saya butuh suami yang lembut yang mampu melunakkan hati saya. Tapi nampaknya sudah takdir saya. Saya besar di lingkungan keluarga yang menghadapi anak-anaknya pun bukan dengan kelembutan juga, sehingga saya sangat membangkang, tak ada rasa segan sedikit pun terhadap orang tua saya, kecuali hanya takut akan malu ketika mereka sengaja membentak saya di hadapan orang lain, atau rasa takut saat mereka mulai mengeluarkan hanger bahkan ikat pinggang untuk menghajar saya.
Saya menikah dengan lelaki asal Bugis, Sulawesi Selatan, yang memang terkenal keras juga. Meskipun usianya terpaut dua tahun di atas saya, tapi sifat keras kepalanya tidak kalah dengan adik saya yang usianya jauh di bawah saya 7 tahun. Kalau bertengkar dengan dia, tak akan ada habisnya kecuali salah satu pergi atau salah satu membanting dan mengunci pintu kamar hingga saling tak bertemu muka. Alhamdulillah dia belum pernah memukul saya, ... dengan sifat keras dan harga diri tinggi saya, bisa dipastikan saya langsung lapor polisi dan menuntut cerai dari dia jika hal itu sampai terjadi, hahahaaa.
Kembali lagi pada mimpi saya. Saya ingin sekali punya suami yang lebih tua dan mengalah pada saya, kemudian saya memanggilnya 'Kanda' dan dia memanggilnya 'Dinda', layaknya pasangan Jawa yang memanggil suaminya dengan sebutan 'Mas' dan istrinya dengan sebutan 'Dik'. Suami saya lebih tua dua tahun dari saya, tapi sama sekali tidak dapat bersikap kepada saya.
Dia tak ada sisi lembutnya sama sekali, apalagi sisi romantis. Sebelum menikah kami hanya berkenalan selama sebulan, mungkin saat itu saja saya sempat merasakan dia mengirim pesan kepada saya dengan panggilan 'Sayang', setelah itu, kami menikah, dan seperti biasa, dia bahkan menyebut saya 'Kamu' ketika berbicara dan menyebut dirinya sendiri 'Aku', sehingga saya pun terbiasa seperti itu terhadapnya. Tidak ada bedanya sama saya kepada kawan lelaki saya dulu, 'aku' dan 'kamu'.
Sampai punya anak pun, kecuali membahasakan diri kepada anak kami, saat berbicara satu sama lain, kami tetap menggunakan 'aku-kamu'.
Memang kenyataan tak seindah mimpi. Oleh karena itu, saya pesimis untuk bermimpi terlalu tinggi.
Sebelum saya menikah, impian saya kelak ketika menikah langsung dikaruniai anak, kemudian mengandung 9 bulan, melakukan persalinan normal, dan lulus menyusui selama 2 tahun. Tapi apa daya, takdir berkata lain. Setelah menikah, harus menunggu sekitar 11 bulan baru diberi kesempatan untuk hamil. Usia 5 bulan kandungan, saya dinyatakan Placenta Previa, bahkan ketika kandungan menginjak 7 bulan, saya mulai opname yang pertama karena nutrisi ke janin terputus selama 2 minggu, sehingga BBJ nya hanya 900 gram, bahkan setelah 6 hari dan sudah boleh keluar RS, janin saya berkembang namun dokter menyatakan bahwa kepala bayi masih terlambat perkembangannya dan berpotensi Mikrosepalus. Duhh bisa dibayangkan perasaan saya. Anak pertama pula. Sempat diberikan suntik pematangan paru agar bayi siap lahir dini. Menjelang usia kandungan 8 bulan, mulai deh pendarahan, keluar masuk RS, sampai pendarahan ketiga kali di usia kandungan 35 minggu, diputuskan dokter untuk melakukan caesar darurat. Mimpi 1-2-3 pun gagal. Sampai mimpi berikutnya untuk full ASI pun GAGAL. Bisa dibayangkan perasaan saya. Tidak ada IMD ketika bayi saya lahir, mungkin juga karena saya caesar dadakan dan ASI saya baru keluar hari kelima, maka malam itu langsung diminta susu formulanya oleh suster, sampai tengah-tengah malam suami saya ke apotik mencari susu formula yang diminta. Akhirnya bayinya bingung puting, konsul ke dokter laktasi pun tak berhasil. ASI perah saya hanya mencapai 30 ml semalaman full saya memerah sambil duduk dan tertidur. Terpaksa beralih ke susu formula full, di saat anak saya bahkan alergi susu sapi. Nafasnya yang tidak stabil membuat saya pun selalu tidur sambil duduk karena mamangkunya, tidak tega menyaksikan kesulitan bernafas.
Di saat istri lain berbahagia ketika sedang hamil dan baru memiliki anak karena mendapat perhatian penuh dari pasangannya, saya tidak sempat merasakannya. Waktu saya hamil, kami tinggal di ruko tingkat 3, sementara lantai 1 dan 2 adalah tempat usaha suami saya. Dia tidur di saat saya bangun, dan dia bangun di saat saya tidur. Bahkan ketika kami sama-sama bangun, tak ada komunikasi sedikit pun karena waktunya banyak dihabiskan di lantai 1 dan 2, sementara saya seorang diri di lantai 3, menghabiskan waktu saya sendiri dengan bermain internet dan karaoke online. Kemudian usia 7 bulan kandungan yang sangat bermasalah, saya terpaksa kembali ke rumah orang tua saya guna mengurangi frekuensi turun-naik tangga karena dokter meminta saya untuk bedrest. Setelah saya melahirkan, saya sudah tak dapat kembali ke ruko bersama bayi saya, karena tempat kami tinggal sudah layaknya gudang komputer yang kotor dan berdebu.
Selama dua tahun saya minta ia membereskan ruko agar saya dan bayi saya dapat kembali, tapi tak ada realisasinya. Dia malah meminta kami kembali dengan kondisi apa adanya. Akhirnya saya tetap tinggal bersama orang tua saya dan dia tidur di ruko. Bahkan ketika orang tua saya memberikan tempat tinggal bagi kami, di sebuah perumahan nyaman, yang lokasinya hanya berjarak 8 menit berkendara untuk pulang, dia tidak dapat pulang untuk tidur di rumah dengan alasan hanya akan menghabiskan waktunya yang bisa dia pakai untuk kerja. Sampai sekarang, saya hanya tinggal berdua dengan anak saya di rumah, sesekali saja dia datang jika saya butuh dia untuk mengantarkan kami pergi, itupun tidak sering, karena saya dan anak saya keseringan menggunakan jasa gocar dan gojek dalam memenuhi kebutuhan kami karena bosan mendengar ia ngomel sepanjang jalan ketika mengantar kami, membuat perjalanan tidak jadi menyenangkan, melainkan pulang dengan huru-hara.
Dalam keluarga saya tidak pantang dengan perceraian. Memang perceraian adalah jalan yang dibenci Allah, tapi tujuan menikah adalah untuk berbahagia, jika tidak tercapai maka perceraian adalah jalan keluarnya. Istri berhak menuntut cerai dan suami wajib menceraikan jika tidak mampu memenuhi kebutuhan batiniah istri tanpa merampas hak-hak istri. Saya sempat bersikeras untuk berpisah bahkan sebelum kami dikarunia anak, hanya hitungan bulan saja, karena saat itu saya merasa bahwa Sakinah Mawadah dan Waromah dalam keluarga saya tidak tercapai, dan saya tidak merasa bahagia. Bukan hanya sekali, bahkan dua kali. Saat anak saya sudah berusia satu tahun, kembali saya meminta itu. Dan seperti biasa, dia datang ke rumah bersama ibu mertua, mengatakan bahwa saya hanya sedang emosi sesaat. Tak ada emosi sesaat seperti saya, hingga dua kali, tentu sudah saya pikirkan masak-masak. Ada satu alasan yang membuat saya akhirnya mau mengalah, karena saya tidak ingin mati dalam hutang kepada papa saya. Ada hak penuh papa dalam pernikahan saya, yang bukan hak saya apalagi hak suami saya, saya ingin menuntaskannya dulu. Dan sangat mengerikannya jika saya mati dalam keadaan itu. Saya juga tidak ingin anak saya yang menanggung akibat karena merampas hak orang lain, karena saya sangat mencintai anak saya.
Alhamdulillah sekarang saya bisa lebih dewasa, tidak terlalu keras seperti dahulu, namun suami saya tidak ada perubahan, masih seperti dulu. Bahkan saat saya mengandung benih anak kedua ini. Mungkin sudah nasib saya. Karena saya bukan gadis yang baik, maka saya mendapatkan pemuda yang sama tidak baiknya, heheee, jika saya menganggap bahwa suami saya bukan orang baik. Semoga sesungguhnya dia orang yang baik, tulus, jujur dan tidak curang dalam hidup baik kepada istri maupun terhadap orang lain, karena saya sih selama ini merasa sebagai orang yang sangat baik dan jujur, yah setidaknya dalam hidup ini saya belum pernah merugikan orang lain.
Saya tidak bisa masak, meskipun berusaha masak, tapi terkadang rasanya tidak enak, yang paling ahli saya buat hanya sayur lodeh, ikan asin, dan telor dadar, hahahaaa. Kalau nyobain resep, sering kali gagal, apalagi urusan ikan, saya paling susah hilangkan amis ikan. Tapi saya berharap anak-anak saya kelak dapat menjadi anak yang baik dan sangat sayang maupun berbakti pada maminya ini, yang sudah mengandung, melahirkan, dan selalu berada 24 jam bersama mereka, aamiin yaa Rabb.
Saya tidak bisa masak, meskipun berusaha masak, tapi terkadang rasanya tidak enak, yang paling ahli saya buat hanya sayur lodeh, ikan asin, dan telor dadar, hahahaaa. Kalau nyobain resep, sering kali gagal, apalagi urusan ikan, saya paling susah hilangkan amis ikan. Tapi saya berharap anak-anak saya kelak dapat menjadi anak yang baik dan sangat sayang maupun berbakti pada maminya ini, yang sudah mengandung, melahirkan, dan selalu berada 24 jam bersama mereka, aamiin yaa Rabb.
Ngga ada deh yang namanya solat berjamaah bersama suami di rumah, meskipun sekali-kali (karena dia toh solat di masjid hanya saat jumatan), dimana seusai solat suami mencium jidat istri dan istri mencium punggung tangan suami, anak-anak mencium punggung tangan orang tuanya. Begitupun saat berangkat kerja dan pulang kerja juga diberlakukan hal yang sama. Yang ada setiap ia pulang ke rumah, saya pasang tampang cemberut karena ngga pernah dapat perhatian dia meskipun hanya sekedar nanya kabar dari tempat ia kerja yang hanya berjarak 8 menit dari rumah dengan berkendara. Komunikasi kurang, membuat kami seperti orang asing satu sama lainnya, layaknya hewan yang hanya komunikasi lewat hasrat birahi. Tak ada kalimat basa-basi, menonton televisi bersama kemudian membahasnya, atau sekedar bercanda di kamar saat malam tiba sebelum tidur, di usia pernikahan yang baru jalan 6 tahun, masih seumur jagung. Mungkin agak wajar jika pernikahan kami sudah memasuki tahun perak.
Sebelum saya memiliki anak, ingin sekali saya mengulang waktu, mencari suami yang lebih beriman, mampu menjadi imam saya, romantis dan perhatian layaknya Rosul kepada istrinya. Bahkan sempat menyesali seseorang yang seharusnya menjadi pilihan malah saya sisihkan hanya karena dia kelihatan terlalu lemah. Padahal, memilih seorang pria yang terpenting adalah ia mencintai Allah, segan terhadap wanita, mampu bersikap dan berkata lembut kepada wanita, yang terpenting lagi adalah rela berkorban, dan tidak membuat saya segan untuk memohon apapun. Tapi itulah, pria baik untuk wanita baik dan wanita baik untuk pria baik. Semoga kelak ia dapat jodoh yang terbaik.
Sekarang, saya tak lagi menyesali takdir, sejak hadirnya anak perempuan yang manis dalam kehidupan saya, karena saya tak lagi sendiri, ada dia, bahkan sebentar lagi kebahagiaan kami lengkap dengan kehadiran seorang bayi yang saat ini dititipkan dalam rahim saya, insyaAllah. Saya bukan istri yang baik, tapi insyaAllah adalah ibu terbaik bagi anak-anak saya.
Saat ini takdir memang tidak berpihak pada saya, tapi jika saya nikmati, mungkin akan terasa manis. Rencana Tuhan pasti terbaik dalam hidup saya.